Konversi Kompor, Bikin Rakyat Makin Gempor
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Lensa Media News – Kebijakan konversi kompor gas ke kompor listrik atau induksi, terus hangat diperbincangkan. Kebijakan ini ditujukan pemerintah untuk mengurangi impor LPG (Liquid Petroleum Gas). Sasaran program ini adalah masyarakat dengan daya listrik 450-900 VA. (detiknews.com, 19/09/2022)
Akhirnya kebijakan tersebut pun menimbulkan kegaduhan di tengah publik. Karena disinyalir dapat meningkatkan tagihan listrik, alias biaya hidup kian berat. (tvonenews.com, 22/09/2022)
Masyarakat pun berharap, pemerintah dapat mengkaji dengan matang tentang segala keputusan yang akan ditetapkan (tvonenews.com, 21/09/2022). Agar tak terjadi kemelut yang makin memburuk. Setelah rakyat ditimpa dengan beban berat harga BBM yang melonjak, haruskah ditambah dengan beban berat listrik yang kian mencekik?
Berdasarkan landasan hukum, keputusan konversi ini belum ada dasar hukum yang jelas. Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, menjelaskan bahwa landasan hukum adalah sesuatu yang penting dalam menjalankan suatu kebijakan. Terlebih kebijakan ini melibatkan dua BUMN, PLN, dan Pertamina, melalui Public Service Obligation (POS) atau penugasan (detiknews.com, 20/09/2022). Dalam kasus ini pemerintah tidak ada ketegasan dalam menetapkan kebijakan. Apalagi ini terkait energi yang dibutuhkan secara primer oleh seluruh rakyat.
PLN juga mengklaim jika penggunaan kompor listrik relatif lebih hemat dan lebih aman ketimbang kompor gas. Salah satu keunggulannya, kompor listrik menggunakan induksi elektromagnetik sehingga aman dari ledakan gas. Program ini pun didukung dengan adanya pembagian kompor listrik gratis untuk jutaan rumah tangga penerima manfaat dengan golongan daya listrik 450-900 VA. (medcom.8d, 04/09/2022)
Namun, betulkah program ini dapat “mendongkrak” kesejahteraan rakyat?
Biaya hidup yang ditanggung rakyat kian berat. Ditambah biaya kompor listrik yang semakin membelit. Jelaslah, program konversi kompor gas ke kompor listrik memberatkan rakyat. Karena biaya listrik yang harus ditanggung menjadi lebih mahal. Di tengah wacana naiknya biaya listrik. Tentu kebijakan ini semakin mengusik rakyat.
Rakyat semakin tercekik dengan biaya listrik yang terus naik. Sebelumnya, wacana penaikan daya listrik rumah tangga 450-900 VA, sudah gencar digemborkan. Dan ditampik oleh pemerintah. Dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan daya listrik rumah tangga. Namun di sisi lain, pemerintah malah menetapkan kebijakan konversi kompor listrik di tengah kenaikan biaya listrik. Bukankah ini akal-akalan pemerintah untuk terus memeras rakyatnya?
Jikapun kebijakan ini terus dipaksakan untuk ditetapkan, tentu sangat merugikan para pelaku usaha. Terutama pelaku usaha kecil dan menengah, karena biaya produksi semakin tinggi. Tak bisa disangkal lagi, saat biaya produksi naik, tentu berimbas pada harga barang-barang yang juga ikut naik. Inilah efek domino yang ditimbulkan.
Akhirnya, kebijakan konversi hanya menguntungkan pihak PT PLN. Tanpa mengindahkan nasib rakyat yang keteteran memikirkan tingginya biaya listrik yang harus dibayar per bulannya. Kepemilikan PT PLN tidak sepenuhnya dalam penguasaan negara. Namun melibatkan pihak swasta, yang menetapkan berbagai kebijakan. Dan tak bisa dipungkiri, jika setiap kebijakan yang ditetapkan adalah bermuara pada keuntungan segelintir pihak saja. Inilah cerminan buruknya pengelolaan sumber daya yang kini terjadi.
Sistem ekonomi kapitalistik liberal, hanya mengutamakan keuntungan para penanam modal. Tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Buruknya sistem inilah yang menimbulkan segala kekacauan dalam pengelolaan. Hingga berujung pada kesengsaraan rakyat. Kezaliman yang sungguh nyata.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam 3 hal, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam kasus ini, energi diidentikkan dengan api. Sehingga jelaslah, seharusnya segala sumber daya alam yang ada dikelola seoptimal mungkin oleh negara. Tanpa campur tangan pihak mana pun. Tujuannya demi tercapainya maslahat umat. Dan penerapan ini hanya dapat terlaksana dalam sistem Islam. Satu-satunya sistem yang memprioritaskan kesejahteraan umat sebagai hal yang utama. Karena posisi negara sesungguhnya sebagai perisai umat yang dapat menjaganya dari berbagai kesengsaraan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]