Demokrasi Suburkan Korupsi

Oleh: Nanik Farida Priatmaja

Lensa Media News Miris! Ramai-ramai napi koruptor bebas bersyarat tanpa penjelasan yang memuaskan rakyat. Dalih pembebasan bersyarat napi koruptor tak lain berdasarkan aturan yang berlaku. Benarkah demikian?

Memang aneh tapi nyata! Maraknya kasus korupsi di negeri ini, pastinya ada penyebabnya baik secara internal dan eksternal. Secara internal, koruptor terjadi pada individu yang tidak mampu menjaga amanah, mengikuti arus dan minim ketakwaan. Secara eksternal pastinya dipengaruhi oleh penerapan sistem di negeri ini.

Tak dimungkiri penerapan sistem demokrasi memerlukan ongkos politik yang tinggi. Calon penguasa harus menyediakan dana yang besar untuk pesta demokrasi. Mulai dari dana untuk kampanye, dana untuk partai, dana untuk pendaftaran sebagai caleg dan sebagainya. Wajar, ketika berhasil menduduki kursi jabatan, menginginkan balik modal. Apalagi jika bukan dengan korupsi, pasalnya gaji yang diperoleh masih jauh lebih sedikit dari modal yang telah dikeluarkan.

Selain tingginya ongkos politik, sistem demokrasi sangat berpotensi menyuburkan korupsi. Bagaimana bisa? Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” berpotensi menyalahgunakan suara rakyat. Memang faktanya suara rakyat bisa dengan mudah terbeli oleh mereka yang bermodal. Jadi sangat memungkinkan terjadi kolaborasi antara korporat dan legislatif menentkan kebijakan sesuai kepentingan mereka.

Tak sedikit para wakil rakyat menghasilkan produk undang-undang yang sarat kepentingan para korporat ataupun mereka pribadi. Misalnya undang-undang kemasyarakatan terkait remisi koruptor, mengingat tak sedikit napi koruptor yang dulunya menjabat sebagai legislatif. Dari undang-undang tersebut terlihat sangat menguntungkan koruptor.

Dilansir dari laman Detik.com, (7/9/2022), Remisi artinya pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pengertian remisi bagi narapidana secara umum yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Sementara remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri yang apabila napi koruptor telah dapat memenuhi syarat-syarat tertentu maka dapat memperoleh remisi alias pengurangan masa menjalani jabatan sebagai narapidana korupsi.

Selain mendapat remisi eks koruptor juga berhak mendaftar sebagai calon legislatif. Tak heran meski pernah tersandung kasus korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai calon pejabat. Padahal si calon tersebut cacat secara moral.

Publik kini tengah menyoroti soal eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg.
Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg. Pada ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya (22/8/2022).

Penampakan undang-undang pemilu memang terlihat memberi hak penuh kepada setiap individu meski terbukti atau mantan pelaku kriminal. Hal ini sangat disayangkan pasalnya berpotensi menyuburkan korupsi sebagai tindak pidana yang didominasi para pejabat.

Wajar sistem demokrasi melahirkan para koruptor. Karena memang tersuasanakan dengan dijaminnya kebebasan setiap individu untuk melakukan perbuatan yang didukung undang-undang. Apalagi sistem sanksi di negara demokrasi juga begitu lemah, tak berefek jera dan tak tegas.

Dalam ajaran Islam, korupsi termasuk kejahatan atau kemaksiatan. Sehingga pelakunya harus diberikan sanksi yakni hukuman takzir hingga hukuman mati. Tergantung penerapan sanksi oleh Khalifah.

Korupsi termasuk perbuatan hina. Pasalnya mengambil hak orang lain hingga menguras kekayaan negara dan dilakukan oleh orang yang mendapat amanah yang seharusnya dijaga. Wajar sanksi bagi koruptor tak sama dengan pencuri.

Penegakan hukum dalam sistem demokrasi terbukti tak berefek jera dan makin menyuburkan kriminalitas. Termasuk tindak pidana korupsi. Wajar di negara demokrasi, kasus korupsi tumbuh subur. [LM.Ak]

Please follow and like us:

Tentang Penulis