Perundungan Kok Sulit Dibendung?

Oleh : Dewi Ummu Khadijah

(Pegiat Literasi)

Lensa Media News–Seorang gadis kecil berumur lebih dari 7 tahun. Kesenangannya sama dengan anak-anak pada umumnya, yakni bermain. Namun sayang, gadis ini hanya bermain dengan teman-teman mengajinya di taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), dia tidak memiliki teman sekolah sebab dia memang tidak lagi bersekolah.

Inilah yang dialami Manda, gadis kecil di Martapura Kalimantan Selatan yang mengalami trauma bersekolah. Sebelumnya seperti anak seusianya, dia telah masuk Sekolah Dasar (SD), namun karena mengalami perundungan dari teman-teman di sekolahnya, Manda takut dan merengek pada orang tuanya untuk tidak lagi masuk sekolah.

Orang tua Manda memilih untuk tidak memaksa anaknya atau memindahkan anaknya ke SD lain. Orang tua Manda beralasan, jika di SD lain uang yang harus mereka keluarkan justru lebih banyak, misalnya untuk menebus seragam yang disediakan pihak sekolah. Sedang di SD Manda bersekolah sebelumnya, dibebaskan untuk membeli di pasaran saja yang harganya lebih murah.

Orang tua Manda memang bukan orang yang tergolong mampu. Kondisi orang tua yang kini telah bercerai membuat Manda makin jauh dari pengurusan terbaik meski dia adalah anak terkecil di keluarga.

Perundungan dari teman sekolah, hal ini tidak hanya dialami oleh Manda. Di Tasikmalaya Jawa Barat, perundungan justru sampai mengakibatkan hilangnya nyawa. Seorang anak mengalami depresi setelah dipaksa oleh teman-temannya menyetubuhi seekor kucing. Perbuatan tidak masuk akal itu direkam oleh teman-temannya, hingga video itu tersebar.

Sungguh tidak habis fikir, bagaimana bisa hal tidak manusiawi dilakukan oleh anak-anak yang masih seusia SD. Apa yang telah terjadi, mengapa perundungan justru begitu sulit untuk dibendung? Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab perundungan terus terjadi dan makin menjadi-jadi.

Pertama lemahnya pondasi takwa dalam keluarga. Keluarga memiliki peran sebagai pendidik pertama bagi anak. Rasulullah Saw. bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Membentuk anak yang bertakwa tentu harus dimulai dari menjadi orang tua yang bertakwa pula. Sebab disanalah fungsi sebagai pendidik pertama akan berjalan dengan baik. Orang tua akan menanamkan sejak dini pada anak tentang mana hal yang baik dan tidak baik. Tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak.

Misalnya penanaman tentang hadits larangan bahaya, “La dharara wa la dhirara” yang artinya “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Juga hadits tentang saling menyayangi, “Man la yarham la yurham” yang artinya “Barangsiapa tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari), dan lain sebagainya.

Pelajaran dan teladan baik dari keluarga inilah yang akan menguatkan anak menghadapi dunia luar. Namun sayangnya saat ini, fondasi ketakwaan itu begitu lemah yang menyebabkan bangunan keluarga menjadi begitu rapuh. Hingga akhirnya terlahir generasi yang buta, tidak mengenal halal haram, dosa pahala, benar atau salah.

Kedua minimnya kontrol sosial dari masyarakat. Masyarakat adalah tempat anak bersosialisasi atau berinteraksi. Ketakwaan yang telah ditanamkan di rumah, tentu tidak menutup kemungkinan akan goyah. Maka dari itu, kontrol masyarakat adalah hal yang sangat diperlukan untuk menjaganya tetap istikamah. Namun sayang, peran sebagai pengontrol itu kini kian luntur. Sikap apatis, tidak peduli pada sekitar, hanya menolong jika ada untung telah menggerogoti diri kebanyakan masyarakat saat ini.

Ketiga tidak berjalannya fungsi negara sebagai perisai. Rasulullah saw. bersabda “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng..“(HR. Bukhari Muslim). Pelaksanaan hadits ini akan memunculkan seorang pemimpin untuk melindungi rakyatnya dari berbagai kedzaliman.

Namun faktanya, alih alih melindungi, mirisnya negaralah yang menjadi penyebab dari banyak kezaliman tersebut. Mulai dari tidak berjalannya fungsi negara sebagai pendidik, hingga tak jarang tontonan buruk pun menjadi tuntutan. Konten unfaedah malah marak.

Sistem ekonomi yang rusak, hingga para ibu yang harusnya fokus membina generasi malah tersibukkan dengan mencari pundi-pundi. Masyarakat yang harusnya saling menasehati, kini malah takut sebab pelaku berlindung dibalik jargon hak asasi. Pun sistem sanksi yang tidak memberi efek jera, hingga jumlah pelaku kriminal justru bertambah.

Inilah buah dari kehidupan sekuler kapitalis. Agama dijalankan sendiri-sendiri, tidak menaungi sebuah negeri. Kerusakan niscaya bertahan selama perbaikan dari akar belum dilakukan. Hanya dengan penerapan Islam Kaffah, rahmat bagi seluruh alam mampu kita rasakan, sebagaimana firman Allah SWT. “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107). Wallahu a’ lam bish shawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis