Teman Kecil
Oleh: Sunarti
Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa
Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia
Luluh lantak hati ini mendengar sayup lagu yang singgah sayup-sayup di telinga. Tak kuasalah aku menahan bulir mengalir nan kian deras membasahi pipi hingga tembus kerudung di daguku. Terselip bayangmu bak sosok nyata hadir menyapa. Rindu, serindunya. Begitu kira-kira saat ini kurasa. Aku pun tiada tahu, apakah aku telah berdosa jika mengingatmu dalam hidupku sekarang. Astaghfirullah, apakah aku telah melanggar hukum-Mu Ya Allah.
Temanku, teman kecilku. Kala kita masih sama-sama bocah kecil yang penuh khayalan. Bercerita seolah tak kenal waktu. Berkhayal hingga tak kenal hidup dalam perjuangan. Dunia, rasa pun milik berdua.
Belajar, bermain tiada kenal lelah dan resah. Esok hari, milik kita. Siang ini, punya kita. Senja pun di tangan kita. Malam dingin, gerah, hujan, adalah keindahan kita. Kita dan hanya kita. Orang lain? Tak ada.
Masih selintas tentangmu. Kala aku masih berada di bawah umurmu, kita sering bercerita di halaman rumahmu. Kala itu tergelitik rasa keingintahuanku tentang langit.
“Mas, kira-kira bulan dan bintang letaknya dari tempat kita sekarang, jauhan mana? Jauh bintang atau bulan?“
“Ya jauhan bintang. Itu bulan kelihatan lebih besar, karena jaraknya lebih dekat dengan kita,” jawabmu dengan senyuman yang paling tulus kurasa. Paling manis dan pandangan yang penuh perhatian.
“Lantas, kalau bukan lebih dekat dengan kita, bisakah kita ke sana?” tanyaku sambil membayangkan kita berlarian mengelilingi indahnya bulan.
“Ya tidak bisa. Hanya orang-orang tertentu yang mereka bisa ke sana. Ke sanapun dengan berbagai kecanggihan teknologi …,” jawabmu dengan engkau teruskan kisah para astronot yang bisa mencapai bulan. Tak lupa kau sertakan kata-kata semangat agar rajin belajar, menjadi yang juara dan tak terkalahkan.
Tiba-tiba, awan menelan bulan kala itu. Suasana halaman yang terang oleh cahaya bulan, tiba-tiba menjadi gelap.
“Lho, itu bulan tertutup awan. Kira-kira tinggian mana, bulan dan awan?” tanyaku polos. Karena di benakku belum sama sekali tergambar bagaimana bulan, bintang, bumi dan awan saling tertata.
Senyum kembali mengembang. Dengan kesabaran kau jelaskan.
“Yo jelasnya, lebih tinggi bulan. Karena awan berada di dalam atmosfer bumi. Jadi saat terlihat awan seolah di atas bulan itu, itu hanya kelemahan mata kita yang tidak bisa memandang sejauh letak bulan dan awan. …”
Dengan kesabaran masih berlanjut engkau menjelaskan tentang awan. Macam-macamnya hingga bagaimana bisa terjadi hujan.
Posisi kita masih sama, berbaring santai di atas tikar pandan bagai dua manusia yang hidup tanpa tetangga, tanpa keluarga dan tanpa orang lain. Masih seputar kita. Sesekali kemiringan tubuhku ke arahmu, memastikan engkau mendengar dan menjawab pertanyaanku.
“Kecuali ada awan dan hujan malam hari, bulan akan selalu menyinari bumi, meskipun itu bukan cahaya miliknya sendiri,” lanjutmu dengan nada berat.
Kembali kemiringan tubuhku ke arahmu. Memastikan tidak ada yang mengganggu pikiranmu.
“Karena bulan tidak punya cahaya. Dia hanya memantulkan cahaya matahari ke arah bumi. Sama, aku pun sebenarnya tak punya cinta. Cinta ini hanya Allah yang punya. Jika Allah tak menghendaki kuberikan pada seseorang, maka seseorang itu juga tidak akan bisa menerimanya. Bagaimana denganmu?”
Di akhir kalimat, tawamu lepas begitu saja. Seolah itu kelakar yang kesekian kamu katakan. Tapi, sayang, tak jua cinta itu untukku. Untuk siapa?
“Tergantung,” jawabku mengambang. Berharap engkau bertanya, “Untukku kah?”
Namun, tak ada kata itu. Justru kau berlari ke arah teras rumah, karena air langit mulai menetes satu persatu.
“Bantuin aku yo!” kataku sewot sembari menarik tikar begitu saja ke arahmu.
Ya layaknya awan yang menghalangi cahaya bulan. Begitu kira-kira apa yang ada di antara kita, katamu sambil masih dengan tertawa.
“Ih, nyebelin. Bantuin dong. Ini tikarnya dilipat,” kataku sebal.
Hari-hari berlalu. Tatkala tuntutan aktivitas merujuk pada kata berpisah. Menempuh pendidikan masing-masing, menempuh perjalanan jauh masing-masing pula. Lepas kontak. Hanya sesekali kita bertegur sapa, saat sama-sama pulang kampung. Malu-malu.
Sekali waktu pernah, bertemu dan bercerita tentang kita. Bermain kelereng, berebut karet gelang hingga bermain layang-layang. Seru-seruan bermain gobag sodor, hingga jamur-jamuran.
“Aku yang selalu melindungimu. Aku berharap selama hidupku,” katamu tiba-tiba.
Aku berhenti tertawa tatkala kata-katamu sarat makna. Kutelan lidahku yang tiba-tiba saja terasa mengikat bagian rongga leherku. Pahit.
“Dulu, aku pernah bertanya, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Kamu diam. Bukankah tidak hanya sekali aku pertegas soal ini?” tanyaku.
Mataku memerah, bibirku bergetar dan seluruh tubuh serasa dingin, menggigil.
“Aku menunggumu. Tak pernah lelah. Aku mendoakan kamu, tak pernah merasa berpisah,” jawabmu dengan suara berat.
“Bukankah cita-cita orang tua kita? Bukankah kebersamaan ini sudah disuasanakan sejak kita belia?” katamu dengan tegas.
Aku terkejut. Seolah tubuhku berontak. Khawatir, panik atau apalah, aku tak tahu.
Bulir-bulir hangat membasahi pipi hingga tak kuasa kutahan. Menangis.
“Aku sudah pastikan padamu kala itu, apa kita lanjutkan atau kita hidup dengan pilihan masing-masing. Bahkan kamu tak menjawabnya. Kamu sibuk dengan urusanmu, kuliahmu. Bagaimana aku?” jawabku.
Keberanian diri menjawab, meski terbata.
“Coba, berapa kali kamu tak merespon itikad dariku. Dua kali wisuda tempat duduk buat siapa. Pernahkah kamu datang? Pernahkah kamu memberitahu sedang apa dan di mana?” Tegas dan menghujam kata-katamu.
“Bukankah itu sudah cukup caramu memutus hubungan ini?” lanjutmu.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, aku tak lagi mendengar kabar beritamu. Seolah tertutup semua jalan untuk mengetahui perkembangan kehidupanmu. Kabar keluarga juga tiada lagi aku mendengarnya. Hingga kabar tak mengenakkan hati kudapat.
“Masmu sakit. Sudah empat hari tidak bisa tidur dan tidak bisa disentuh seluruh badannya. Bagaimana kabarnya kamu? Apa kamu masih peduli dengan Masmu?”
Sebuah kalimat terkirim ke layar HPku. Aku terkejut. Lemas raga ini tak mampu lagi untuk berdiri.
“Astaghfirullah. Apa yang terjadi denganmu, Mas?“
Berusaha sekuat tenaga untuk mencari informasi di mana keberadaanmu. Kuhubungi nomor yang tertera dengan pesan singkat itu. Tapi nihil. Nomorku telah terblokir olehnya.
“Ya Allah. Berdosanya aku,” lirihku beristigfar.
Tak hilang akal, segera kulacak lewat tetangga dan teman-teman kecil kita. Di mana kamu dan bagaimana kondisimu?
Hingga seseorang berlapang dada mengantarku ke tempatmu. Sungguh memrihatinkan. Dengan badan yang kurus kering kamu berusaha bangkit mempersilahkan aku dan temanmu duduk. Pucat. Sakit. Entahlah lebih sakit hatiku atau kondisimu. Aku tak tahu. Basah saja wajahku dengan air mata.
“Jangan sentuh aku. Badanku sakit jika disentuh,” katamu lirih.
Kutahan rasa rinduku yang sebenarnya tak mampu kubendung. Sebagai insan yang pernah belajar kesehatan, bisa jadi kamu sedang mengalami insomnia yang mengakibatkan syarafmu tidak bisa bekerja dengan baik.
“Mas, ke dokter syaraf sekarang. Jangan ditunda,” kataku seketika.
“Tidakkkk … Kamu tak perlu sok tahu. Anakku tidak gila. Anakku baik-baik saja. Kamu pergi saja, tak perlu sok tahu urusan kamu. Dia sekarang bukan Masmu. Kamu pergi saja! Dan jangan muncul kembali!” tiba-tiba saja ibumu keluar dari kamar di sebelah ruang tamu.
“Buk … Buk ... ” sontak aku menghibur ke arah seorang wanita paruh baya. Dialah ibumu yang selama kita bersama bercita-cita kita hidup sebagai keluarga.
Aku bingung dengan apa yang terjadi. Ibumu tak sudi menyambut uluran tanganku.
“Mas … Mas … Tak bisakah memaafkan aku? Ibuk … Aku sudah matur yang kesekian kali. Aku memang salah mengambil keputusan untuk lebih dahulu menikah. Tapi Mas, Buk … Sakitnya Mas ini harus segera mendapatkan pertolongan dari dokter spesialis syaraf,” kataku dengan tangisan tersedu.
“Pergi,” kata ibumu saat itu.
Akupun menurut apa kata ibumu dan berlalu dari hadapanmu. Karena hardikan yang tidak bisa aku tolak. Sakit hatiku sebenarnya, tapi, kurasa memang aku pantas mendapatkannya.
Selang dua hari dari peristiwa sakitmu dan diusirnya aku, kudapat telepon tiba-tiba dari nomor yang memberitahukan jika kamu sakit. Mas, aku sebenarnya masih peduli denganmu. Tapi, bukan lagi sebagai teman kecil yang bercita-cita hidup bersama saat dewasa. Mengertilah.
Kutelusuri lorong rumah sakit. Kudapatkan ruang di mana engkau dirawat. Berdebar kencang jantung ini tak tentu, karena ruang khusus perawatanmu.
“Mas … Kamu …” kataku terbata. Namun, aku tahan kekhawatiran dan kerinduan. Kupikirkan orang-orang di sekitar dan dosa apa yang akan kuterima jika rasa yang tak menentu ini kulampiaskan dengan menghambur ke arahmu. Menangis adalah solusi terbaik. Terpuruk di sisi bawah kakimu. Aku bersimpuh.
“Maafkan aku, Mas. Maafkan. Maafkan aku Ibuk. Aku tidak bisa memenuhi cita-cita kita,” terbata di tengah sendu-sedan tangisanku.
“Sudahlah. Berdiri,” kata seseorang merangkulku. Sesaat kemudian memelukku erat.
“Maafkan ibu juga. Telah berprasangka buruk terhadapmu. Maafkan,” kata-kata ibumu meluncur di sisi kanan telingaku. Aku kian limbung, rasa kunang-kunang mengelilingi mataku.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah,” kulantunkan istighfar perlahan sembari mengatur napas agar aku tetap bisa menahan kesadaran.
“Duduklah. Sekiranya kita tidak bisa memetik embun bersama, tidak bisa melukis senja bersama dan tidak bisa meraih bulan berdua, biarlah semua berlalu,” katamu.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Ditemani ibumu, aku diantarkan duduk di sisimu. Kuamati dengan seksama sosokmu yang kini sangat lemah.
“Maafkan aku yang tak juga pernah memperhatikan dirimu selama kita berjauhan raga. Biarlah bulan, bintang dan awan yang telah menjadi saksi masa kecil kita. Masa-masa kanak-kanak kita yang penuh dengan cerita. Kita hanya ditakdirkan menjadi teman kecil, bukan teman untuk berbagi cerita tatkala dewasa. Dan pula, bukan teman yang menggantung bahtera bersama,” lanjutmu dengan nada yang tegas. Tapi, aku tak bisa kau bohongi, ada nuansa berat di dadamu.
“Terimakasih telah menjadi penolongku saat gangguan syaraf terjadi padaku engkau datang dan mengingatkan. Ini teguran dari Allah, bahwa selama ini mungkin hanya nafsu aku dalam mencintaimu. Maafkan aku. Kelak, jika kutemukan jodohku, aku berharap kita tetaplah sebagai teman,” katamu panjang lebar. Kini beda suasana hatimu. Entah apa itu. Yang jelas sesekali kau seka air mata.
Wahai teman kecilku, sekiranya engkau telah bahagia saat ini, aku berharap pula, kita tetap sebagai teman. Meski ada batasan-batasan yang harus kita jaga. Sayangnya, kini engkau berputus pertemanan denganku. Yah, mungkin layak bagiku untuk mendapatkan perlakuan yang demikian. Karena salahnya aku. Tapi aku yakin, menghilangnya dirimu semata demi kebaikan kita bersama. Agar tak ada dosa-dosa yang bisa jadi tumbuh diantara kita.
Ngawi, 10 Agustus 2022
[LM]