77 Tahun Merdeka, Tercerminkah pada Anak Bangsa?

Oleh: Fitri Hasanah Amhar

 

Lensa Media News – Dalam waktu dekat, Indonesia akan memperingati 77 tahun kemerdekaannya. Seremoni tentu akan diadakan di mana-mana. Pun tak terlupa, aneka promo yang menggiurkan di berbagai kategori: food, fashion, fun, film, dan sebagainya yang juga menggiurkan daya konsumtif anak-anak muda. Namun, jangan sampai kita terlena, bahwa sederet PR masih menanti untuk menunjukkan makna merdeka yang sesungguhnya.

Belum lama kita dengar soal kasus perundungan siswa SD di Tasikmalaya yang berakhir pada kematian karena depresi. Menunjukkan bahwa masih banyak PR untuk mewujudkan generasi yang berperilaku baik dan saling menghormati sesama. Juga secara tidak langsung menunjukkan masih banyaknya PR Pendidikan generasi yang belum mampu dikerjakan orang tua, juga belum didukung sistem yang diterapkan negara. Menghasilkan generasi muda yang liar mencontoh tanpa pertimbangan baik buruk yang sesuai syara. Sibuk mencari eksistensi diri dengan menjajah yang lemah tanpa paham benar salah.

Di sisi lain fenomena Citayam Fashion Week juga menunjukkan remaja-remaja labil yang kesulitan menemukan jati diri. Menghabiskan waktu tanpa kegiatan produktif yang malah menyia-nyiakan masa muda. Jauh dari makna pemuda Islam yang kita tahu pada masa kekhilafahan Islam di masa silam. Masa muda yang digunakan untuk mencari ilmu, berjuang di jalan jihad, bahkan memimpin kaum muslimin.

Dua fenomena di atas justru membuat bertanya-tanya. Apakah sungguh kita sudah 77 tahun merdeka? Apakah makna merdeka itu betulan dirasakan saat ini? Sementara bukankah setelah berita-berita itu kita jadi takut membiarkan anak-anak berinteraksi dengan dunia luar yang ternyata penuh ancaman?

Rupanya 77 tahun merdeka ini bak kiasan semata. Memang tak ada lagi negara lain yang menjajah dan angkat senjata di negara kita. Namun ideologi kapitalisme telah menyamar dengan halus dengan beragam bentuknya. Fashion dan fun diadaptasi para pemuda menjadi Citayam Fashion Week. Tanpa sadar, pemuda dijauhkan dengan Islam melalui kegiatan senang-senang yang melenakan. Nongkrong – nongkrong menjadi budaya yang dilestarikan. Obrolan soal makanan, pakaian, tontonan, bahkan orang lain menjadi topik perbincangan yang tak boleh ketinggalan. Kapitalisme menjauhkan pemuda dari semangat berjuang dan menimba ilmu, khas pemuda muslim zaman kekhalifahan Islam dahulu. Juga diskusi-diskusi soal ide dan problematika umat yang mewarnai pemuda Islam di masa itu.

Potret kekerasan fisik maupun verbal yang sering disebut perundungan atau bullying juga mencerminkan orang tua yang abai terhadap pendidikan generasi, lingkungan yang tak aman untuk anak-anak tumbuh dan berkembang, serta jauhnya adab dalam dunia pergaulan anak-anak kita. Bagaimana tidak? Contoh yang anak-anak dapat akses sehari-hari dari lingkungan maupun media sosial juga tanpa filter. Kekerasan, aurat, dunia tanpa sopan santun dipertontonkan tanpa permisi. Seolah hal-hal tersebut diwajarkan. Orang tua yang jauh dari pemahaman Islam tentang tanggung jawab mendidik generasi. Makin klop lah makna merdeka untuk masing-masing: anak-anak merdeka akses informasi kemudian mempraktikannya di sekolah. Orang tua merdeka menghibur diri dan malas diintervensi tanggung jawab mendidik generasi. Apa yang kita terima hari ini? Kenyataan meninggalnya siswa SD di Tasikmalaya itu barangkali hanya satu dari dampaknya kerusakan sistemik ini. Sangat langka saat ini kita temukan anak-anak usia dini yang baik bacaan Qurannya lalu dielu-elukan daan viral di media sosial. Sesungguhnya dunia kita saat ini, penuh dengan cerminan-cerminan ketidakmerdekaan.

Maka sampailah kita semestinya pada refleksi yang mendasar tentang makna merdeka. Akankah sistem yang diterapkan saat ini mampu menjadikan generasi penerus bangsa menjadi individu berkarakter yang mampu memperjuangkan kebaikan? Agaknya kita jadi sangsi jika melihat fenomena yang jelas menjadi topik banyak berita di hari ini. Sistem saat ini tidak mampu menjaga generasi menjadi pribadi yang kokoh pendiriannya, paham agamanya, serta baik akhlaknya. Menyerahkan hal ini pada keluarga masing-masing mungkin bisa. Tapi bagaimana jika anak-anak baik keluar dan lingkungannya menjadi ancaman bagi mereka? Sungguh yang dapat melaksanakan dan menjamin generasi penerus bangsa terdidik dengan baik di lingkungan yang baik hanyalah Islam. Kepemimpinan Islam di masa Rasulullah saw, Khulafa ur Rassyidin, Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasiyah, dan Kekhilaafahan Turki Utsmani sudah menjadi saksinya. Semoga Islam bisa tegak Kembali di tengah-tengah kita hingga mewujudkan Kembali generasi pemuda yang mewujudkan makna merdeka sesungguhnya. Generasi Tangguh yang memahami syara, dan bisa menjadi penjaga bagi tegaknya Islam di tengah-tengah umat. Aamiin Allahumma Aamiin. 

Wallahu a’lam bissh shawwab. 

 

[nr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis