Ismail Yusanto Membedah Tiga Perspektif Utama Penyelesaian Masalah Bangsa dalam Diskusi “Proposal Khilafah”
Reportase – PKAD—Saat ini umat Islam tengah berada di satu masa, di satu negeri yang sedang dilanda masalah bertubi-tubi. Walaupun sebenarnya masalah merupakan hal biasa dalam kehidupan. Manusia sebagai makhluk paling sempurna ciptaan Allah, bagaimana cara menghadapi masalah tersebut?
Dalam diskusi dan pernyataan sikap ulama dan tokoh ulama Jatim. Bertema”Proposal Khilafah” Live streaming oleh Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD), Kamis (14/4/2022). Ustadz Ismail Yusanto, seorang cendekiawan muslim mengatakan bahwa setidaknya ada tiga perspektif penting yang digunakan untuk melihat dan menyelesaikan masalah baik ekonomi, politik, sosial budaya hingga persoalan domestik dan internasional.
“Pertama adalah perspektif teknis ekonomi. Misalnya, pada persoalan minyak goreng. Menurutnya, bahwa persoalan ini muncul salah satunya karena soal distribusi yang yang tidak terkendali atau tidak terkoordinasi dan tidak terkonsolidasi dengan baik. Kemudian adanya penimbunan atau ada wilayah yang tidak cukup mendapatkan pasokan,”bebernya.
Contoh lain, Ismail Yusanto menegaskan, bagaimana bisa negara yang mayoritas menjadi produsen batubara terbesar di dunia kehabisan pasokan batubara. Masalah ini juga menurutnya terjadi karena problem teknis yang disebabkan rendahnya nilai domestic market obligation (DMO).
“Itu (DMO) harusnya lebih kencang lagi diterapkan dan dilaksanakan. Jadi lanjutnya, persoalan ini bisa diselesaikan melalui pendekatan teknis”, kata Ismail.
Fakta menunjukkan bahwa problem tersebut tidak hanya menyangkut masalah teknis. Tapi juga terkait perspektif yang kedua, yakni perspektif politik yang menyangkut kebijakan, keberpihakan, dan kepekaan penguasa dalam mengambil keputusannya sendiri.
“Keberpihakan politik ekonomi terhadap kepentingan dalam negeri bisanya kemudian berujung sampai pada penguasa yang dinilai tidak cakap dalam mengatur berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat,”tuturnya.
Kemudian, solusi pergantian rezim tidak menunjukkan perubahan nyata. Yang terjadi justru kebobrokan seperti korupsi dan kejahatan semakin membesar
Ketiga, perspektif filosofi radikal. Karena jika ditinjau lebih dalam ternyata persolan-persoalan yang dihadapi bangsa ini tidak hanya menyangkut masalah teknis dan politisi. Lebih dari itu yakni persoalan ideologis.
“Sepertinya yang ketiga ini tidak cukup diatasi dengan perspektif teknis ataupun pergantian rezim (politis),”tandasnya.
Dia kemudian memberikan nasehat bahwa sebaiknya sebagai seorang muslim melihat masalah dari tiga perspektif itu. Utamanya adalah perspektif ideologis. Karena yang terjadi saat ini, semua problematika yang dihadapi bangsa ini berurat akar pada persoalan yang sangat mendasar (akidah). Dalam Alquran disebut dengan istilah Fasad atau kerusakan.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (TQS. Rum: 41).
Syekh Muhammad Ali ashobuni mengartikan kerusakan yang disebabkan kemaksiatan dan dosa-dosa manusia. Hal itu karena mengabaikan perintah Allah. Meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram. Setiap kemaksiatan pasti menimbulkan fasad atau menimbulkan kerusakan.
Kemaksiatan itu sendiri dibagi menjadi dua, yang pertama adalah kemaksiatan individual (personal kultural) dan kemaksiatan komunal struktural. Kemaksiatan personal contohnya seperti orang misalnya muslim yang tidak puas di bulan Ramadan tapi tidak ada udzur syar’i. Tidak melakukan shalatnya, tidak membayar zakat, minum minuman keras, berzina dan sebagainya.
Kemudian, lanjutnya, “Yang kedua adalah kemaksiatan komunal struktural. Yaitu kemaksiatan yang dilakukan oleh sebuah struktur ekonomi dan politik. Secara sistem kemaksiatan itu bersifat faktual. Maka, kerusakannya pun juga bersifat struktural dan jauh lebih besar daripada yang dilakukan oleh individu.”
Maka, sesungguhnya persoalan-persoalan itu perlu penanganan yang lebih mendasar. Allah SWT telah menunjukkan kepada kita, jikalau kita ingin menyelesaikan persoalan itu dengan tuntas maka kita harus kembali atau merujuk kepada jalan yang benar dan diridhoi Allah.
“Yaitu dengan penerapan syariah secara Kaffah. Karena, keimanan kita kepada Allah itu tidak cukup sekadar pengakuan atau percaya kepada wujud Allah. Tetapi harus disertai kepada ketundukan kepada setiap syariat-Nya.”
Kemudian Ismail menyitir ayat al-Quran:
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS. Anisa: 65). Hanif Kristoanto.[ *LM/ry*]