Kontroversi Logo Halal, Tuai Kritik Sosial
Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Lensa Media News – Logo halal masih menjadi buah bibir di kalangan publik. Tak hanya menarik. Bahasan ini pun menuai kritik berbagai kalangan. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa label halal tidak lagi dalam wewenang Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tapi, kini, kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Label halal MUI nantinya tidak berlaku lagi di Indonesia (geloranews.com, 12/3/2022).
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPJPH (Badan Penyelenggaran Jaminan Pangan Nasional) Nomor 40 Tahun 2022, logo tersebut berlaku per 1 Maret 2022 (kompas.com, 13/3/2022). Logo teranyar ini akan berlaku secara nasional dan wajib tercantum pada kemasan produk sebagai tanda kehalalan produk dan kepemilikan sertifikat halal yang diakui pemerintah. Namun, logo lama masih tetap berlaku hingga tahun 2026 (kompas.com, 16/3/2022).
Majelis Ulama Indonesia mengaku kaget dengan terbitnya logo halal terbaru dari Kemenag (nasional.kontan.co.id, 16/3/2022). Demikian ungkapan dari Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, Sholahudin Al Aiyub. Menurut Aiyub, hal tersebut tak sesuai dengan kesepakatan awal antara MUI dan pemerintah. Seharusnya penetapan logo halal melibatkan aspirasi berbagai pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal.
Logo baru yang diusung oleh Kementerian Agama, bertemakan simbol nusantara yang mirip lurik gunungan wayang (tempo.co, 13/3/2022). Tulisan yang tertera menjadi samar. Bahkan tak terbaca jelas tulisan “halal”.
Kegaduhan ini memantik pertanyaan publik. Ada apa di balik polemik logo halal? Seolah tengah berseteru. Dan tampak adanya perebutan “proyek” pengadaan logo halal pada kedua belah pihak.
Tak bisa dipungkiri, inilah salah satu buah UU Omnibus Law yang disahkan tanggal 5/10/2020. UU Jaminan Produk Halal dimasukkan dalam klaster Permudahan Izin Usaha (muslimahnews.net, 15/3/2022). Misi besar pemerintah adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat produk halal dunia pada tahun 2024. Dan Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar produk halal terbesar di dunia. Ditambah dengan adanya pola kehidupan rakyat yang cenderung konsumtif. Menjadi kesempatan emas bagi para pemilik modal.
Dengan adanya peraturan tersebut, akhirnya terbit pelonggaran syarat dan ketentuan produk halal. Sebelumnya auditor produk halal harus beragama Islam, S1 dan memiliki wawasan tentang pangan halal sesuai syariat Islam. Namun kini, semua syarat tersebut tak lagi ketat. Sehingga dikhawatirkan terjadi penyelewengan wewenang atau keputusan tentang halal atau tidaknya suatu produk.
Belum lagi aturan birokrasi untuk mendapatkan logo halal suatu produk. Harus dibayar mahal oleh para produsen. Yang tentu memberatkan biaya produksi. Hal ini pun menjadi faktor yang “menyumbang” tingginya harga produk di pasaran. Inilah yang menjadi sasaran empuk lembaga pengadaan jaminan pangan halal.
Wajar adanya, jika terjadi tarik menarik kepentingan mengatasnamakan jaminan produk halal. Inilah watak dasar ekonomi liberal kapitalistik. Tak peduli terhadap akibat dari kebijakan yang diambilnya. Tak peduli rakyat mendapatkan kepastian halal atau tidak tentang makanan yang dikonsumsinya sehari-hari. Yang terpenting adalah urusan keuntungan yang diraupnya.
Kepastian jaminan kehalalan suatu produk adalah salah satu kewajiban negara yang harus dipenuhi. Untuk menjaga kepastian akidah umat. Ini pun mustahil diwujudkan dalam sistem cacat seperti saat sekarang. Sungguh buruk potret kehidupan yang dilahirkan dari sistem liberal kapitalisme.
Urgenitas terwujudnya sistem yang mumpuni sungguh sangat dibutuhkan saat ini. Dan satu-satunya sistem yang shahih hanyalah sistem Islam. Sistem yang amanah dalam penjagaan akidah umat dengan sempurna. Sistem yang menerapkan syariat Islam yang menyeluruh pada setiap segi kehidupan. Termasuk dalam penyediaan pangan yang halal dan thoyyib . Sistem Islam dalam wadah Khilafah manhaj An Nubuwwah.
Wallahu a’lam bisshowwab .
[if/LM]