Rebutan Kursi Meski Pemilu Dua Tahun Lagi

Oleh : Sri Gita Wahyuti A. Md

(Aktivis Pergerakan Muslimah dan Member Akademi Menulis Kreatif) 

 

Lensa Media News – Aroma pesta demokrasi lima tahunan sudah tercium baunya. Pesta yang sedianya akan dihelat pada tahun 2024, kini pun seolah sudah tampak di depan mata. Indikasinya bisa dilihat dengan bertebarannya gambar atau foto politisi berikut bendera partai yang berkibar di sepanjang jalan.

Para elit partai politik (parpol) tengah bergerilya berusaha memikat hati rakyat. Mereka berisik perihal capres dan cawapres. Safari politik pun menjadi agenda pemanasan sebagai sambutan atas perhelatan akbar Pilpres 2024. Persaingan antar tokoh politik sudah terjadi. Masing-masing berlomba menampilkan profil terbaiknya, entah itu kibaran bendera, bantuan sosial, atau deklarasi relawan.

Begitulah wajah para tokoh politik saat momen pencapresan sudah mendekati waktunya. Segala cara dilakukan untuk memenangi kontestasi menjadi orang nomor satu di negeri ini. Faktanya, dalam sistem politik demokrasi, jika kontestan ingin memperoleh kemenangan, maka haruslah untuk selalu memerhatikan bahwasanya calon pemimpin harus memiliki citra yang baik, seperti jujur, amanah, merakyat dan dermawan. Akhirnya mereka berusaha memoles calon agar terlihat baik di mata masyarakat.

Mereka yang memiliki modal besar, memungkinkan untuk lebih gencar berkampanye. Sedangkan mereka yang modalnya pas-pasan, sulit untuk dikenal masyarakat. Hal ini mendorong para politisi menggaet para pemilik modal untuk mendukung kampanyenya. Dukungan yang tidak gratis tentunya. Setelah kemenangan diperoleh, saat itulah waktu yang tepat untuk membalas budi.

Seperti itulah, demokrasi saat melahirkan seorang pemimpin. Penentu representasi tokoh adalah dukungan parpol, modal, pencitraan dan elektabilitas. Sedang kapabilitas dan kualitas tidak menjadi prioritas. Mendekat saat butuh suara rakyat. Pura-pura amnesia saat terpilih dan menang, lupa akan janji semasa kampanye. Kebijakan yang diambil pun lebih memihak kepada para pemilik modal.

Berbanding terbalik dengan sistem politik Islam. Dalam Islam, memilih pemimpin tidak seperti memilih kucing dalam karung. Ia dipilih berdasar ketentuan syariat. Wajib memenuhi tujuh syarat, yakni: (1) muslim; (2) laki-laki; (3) balig; (4) berakal; (5) adil; (6) merdeka; dan (7) mampu.

Khalifah dipilih berdasar kemampuan dan kapasitasnya. Jika memenuhi syarat in’iqad (syarat legal), ia bisa terpilih sebagai penguasa. Artinya, khalifah atau kepala negara tidak dipilih berdasarkan polesan pencitraan atau banyaknya modal yang mereka miliki. Hal ini, karena mengemban amanah kepemimpinan itu tidak semudah mengucap, tidak pula sekadar tebar pesona kepada rakyat.

Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur.” Mereka bertanya, “Bagaimana suatu negeri bisa hancur, padahal makmur?” Ia menjawab, “Jika pengkhianat menjadi petinggi dan harta dikuasai orang-orang fasik.

Esensi politik dan kepemimpinan Islam adalah untuk mengurus rakyat dengan cara melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam sistem Khilafah, tidak akan ada konflik kepentingan atau politik transaksional. Keberadaan Khalifah adalah untuk menjalankan hukum Allah dan menyelesaikan setiap permasalahan manusia dengan hukum-hukum Islam.

Wallahu’alam bisawwab.

 

[ln/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis