Halal City dan Kekhawatiran yang Sesungguhnya

Oleh: Nurintan Sri Utami, S.Psi., M.Si

 

Lensa Media News – Pemerintah Kota Malang berencana untuk menjadikan Malang sebagai kawasan halal city. Proyek ini digagas dalam rangka meningkatkan perekonomian kota. Secara konsep, wisata halal tidak dapat dipisahkan dari konsep syariah. Seluruh aktivitas produk wisata, termasuk layanan dari seluruh produk ikutannya berbasis pada syariah Islam. Beberapa contoh layanan maupun produk wisata halal dapat meliputi halal trip, halal resort, halal hotel, halal restaurant, dan lainnya.

Namun ternyata hal ini dikritik oleh Habib Syakur, salah satu tokoh agama yang menilai bahwa halal city Kota Malang dikhawatirkan menjadi salah satu bentuk intoleransi terhadap agama lain. Pelabelan halal bisa jadi menimbulkan kegaduhan. Ia menilai bahwa halal akan cenderung berkaitan dengan syariah Islam. Lebih lanjut disampaikan bahwa dikhawatirkan dengan label tersebut, Malang akan menjadi terbelakang dan tertutup.

Kekhawatiran mendalam dapat muncul karena gaung moderasi beragama kian gencar dilakukan. Padahal sebagai seorang muslim, ada perintah langsung dari Allah bahwa wajib bagi seorang muslim melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan Allah serta berpedoman pada apa yang Allah sebutkan sebagai halal atau haram.

Ide moderasi beragama memang akan membawa seseorang pada kondisi psikologis yang tidak sehat. Kita bisa jadi dipola untuk selalu khawatir dan resah atas tuduhan intoleransi jika membawa ide Islam di tengah kehidupan. Bukankah hal ini lebih mengkhawatirkan? Bahkan akan menyalahi tujuan penciptaan kita yaitu beribadah secara total kepada Allah termasuk di dalamnya mensyiarkan ajaran Islam.

Tekanan yang terus dilancarkan kepada umat Islam jelas tidak dapat dibenarkan. Apalagi seorang muslim dilarang untuk mendapatkan haknya untuk melaksanakan Islam secara total dan mensyiarkannya. Intoleransi kepada umat agama lain juga harusnya tidak perlu dikhawatirkan. Tanpa ide moderasi beragama sebetulnya Islam telah menjamin bahwa seorang muslim tak patut untuk memaksa orang lain tunduk pada syariat Islam jika ia memang bukan pemeluknya.

Sebegitu luar biasa Islam menjamin agar stressor psikologis tak tumbuh di tengah masyarakat yang beragam bahkan berbeda keyakinan. Telah jelas disebutkan dalam terjemah surah Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu, untukku agamaku.” Hal ini menjadi penguat bahwa tidak ada tekanan apapun untuk memeluk Islam.

Sejarah peradaban Islam telah membuktikan bahwa umat Islam dan umat agama lain hidup berdampingan selama 14 abad. Umat agama lain sukarela hidup di dalam Peradaban Islam dan merasa terjamin kehidupannya. Terlebih, banyak dari mereka berbondong-bondong memeluk Islam karena melihat begitu baiknya pemerintah kala itu memperlakukan dan mengurusi hajat hidup mereka.

Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi. Kaum non-Muslim bahkan menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim.

Maka, sebetulnya bukan Islam yang menindas dan menutup diri, namun pola pikir serta kekhawatiran kita yang jauh berlebihan hingga menutupi akal sehat. Selayaknya, kita juga membuka mata lebar-lebar bahwa faktanya Islam mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia jika diterapkan dalam kehidupan, bukan sebaliknya.

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis