Pakar Hukum Pidana: Ada Hubungan Agama dan Negara, STOP Kriminalisasi Ulama
Reportase – PKAD — Pakar Hukum Pidana Abdul Chair Ramadhan angkat bicara mengenai maraknya kasus kriminalisasi ulama. Ia menyampaikan delik agama landasan teorinya itu banyak disebut. Ada tiga teori, pertama Teori yang menyatakan bahwa ketertiban umum, maupun keamanan wajib dilindungi.
“Dalam hal ini terkait dengan kepentingan agama, bisa sebagai kepentingan ketertiban dan ketentraman umum. Selain itu ada rasa keagamaan, juga termasuk dalam kepentingan agama yang dilindungi oleh negara,”tandasnya di FGD ke-42 Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD): Kriminalisasi Ulama Penistaan Agama dan Pembantaian 6 Syuhada, Sabtu (15/01/2022) di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Kemudian, yang ketiga, kepentingan agama pada hakekatnya adalah kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh negara karena tidak dapat dipisahkan antara agama dan negara. Itu yang disebut dalam konstitusi kita.
Abdul Chair menjelaskan dalam pasal 29 jelas negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Walaupun NKRI melalui konstitusi tidak menyebutkan secara eksplisit peranan agama tetapi tidak dapat ditafsirkan lain. Indonesia memang bukan negara agama yang berdasarkan pada satu agama, tetapi juga bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dan negara.
“Secara teoritik ada simbiosis, ada keterhubungan antara agama dan negara. Itu yang kita sepakati dalam konstitusi kita dan juga menuju kepada falsafah negara Pancasila,”ungkapnya detail.
Tambahnya, “Nah permasalahannya adalah bagaimana penerapan hukum terhadap delik agama ini.”
Kalau kita mengacu kepada Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Itu jelas landasan berpikirnya. Pada saat itu kekacauan timbul karena banyaknya penyalahgunaan agama, banyaknya penyelewengan-penyelewengan ajaran agama, dan banyaknya aliran yang menyerupai agama. Kemudian melakukan suatu tindakan tindakan yang mencederai dan menodai, tentu yang menjadi korban adalah agama. Dalam hal ini agama Islam.
Kemudian Penetapan Presiden nomor 1 tahun 1995 itu dikuatkan menjadi undang-undang dan masuk dalam KUHP. disebutkan di dalam pasal empatnya yang kemudian menjadi pasal 156A. Jadi diselipkan diantara pasal 156 dan 157. Jadilah pasal 156A. Kondisi saat ini menunjukkan hal yang relatif sama pada saat Penetapan Presiden nomor 1 tahun 1995 itu menjadi KUHP. Banyak aliran sesat berkembang yang melakukan penyalahgunaan ajaran agama.
“Ketika kita bicara penyalahgunaan pasti, pasti di dalamnya ada penodaan.” tegasnya.
(Hanif Kristianto, Analisis Politik dan Media) .
[ry/LM]