Panic Buying Lagi, Subsidi Minyak Bukan Solusi

Oleh: Eva Nurfalah

(Aktivis Muslimah Kab. Bandung)

 

Lensa Media News – Pemberlakuan harga minyak goreng sebesar Rp 14.000 per liter di beberapa retail modern, mengakibatkan panic buying pada masyarakat. Melansir dari Banjarmasinpost.com (23/01/2022), minyak goreng satu liter dengan harga Rp 14 ribu di retail modern begitu cepat ludes. Padahal, pemerintah sudah memberikan anjuran agar masyarakat membeli minyak goreng sesuai kebutuhan saja. Sebab, berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.

Dilansir dari Kompas.com (22/01/2022), selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia. Untuk diketahui, panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang. Seperti halnya saat pertama kali virus corona menjangkiti Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak, hingga susu “cap Beruang” pernah ramai-ramai diburu, bahkan mengarah kepada indikasi penimbunan barang.

Agaknya tak berlebihan jika dikatakan, subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran. Sebab dengan adanya kebijakan ini, semua orang bisa mengakses minyak dengan mudah. Maka dari itu, potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen bisa jadi lebih masif. Bahkan, bukan tidak mungkin akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi. Sehingga, mengakibatkan minyak hilang di pasaran.

Sebagaimana fakta yang kita lihat hari ini, minyak goreng di beberapa retail begitu sulit didapatkan. Kalaupun ada, jumlahnya hanya sedikit dan tidak bisa mencukupi kebutuhan. Kemudian, ada juga minyak goreng yang dibanderol dengan harga yang masih tinggi dengan alasan menghabiskan stok lama.

Maka, penurunan atau penetapan harga minyak di satu harga bukan solusi tuntas untuk mengatasi permasalahan, yang ada malah menambah masalah baru yaitu hilangnya minyak di pasaran. Selain itu, penetapan ini juga merugikan beberapa pihak, seperti pihak penjual di pasar tradisional. Para pedagang ini akan kesulitan menjual minyak karena harga yang mahal. Beginilah solusi dalam sistem kapitalis yang tidak pernah memberi solusi masalah hingga tuntas ke akarnya.

Berbeda dengan sistem Islam yang selalu memberikan solusi tuntas dalam mengatasi berbagai masalah. Seperti halnya kasus penimbunan barang, dalam sistem Islam pedagang dilarang melakukan _ihtikar,_ yaitu penimbunan barang dengan tujuan spekulasi. Sehingga, ia mendapatkan keuntungan besar di atas rata-rata atau dia menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan monopolys rent seeking.

Larangan ihtikar ini terdapat dalam sabda Nabi saw., (Al-Mubarakafuri) dari Mamar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (HR.Tirmidzi)

Begitulah cara sistem Islam dalam mengatasi berbagai masalah secara tuntas. Sehingga, tidak menimbulkan terjadinya masalah yang baru. Hanya dengan penerapan sistem Islam yang dapat menyudahi permasalahan minyak goreng.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis