Hukuman Mati Hanyalah Narasi

Oleh: Dian Safitri

 

Lensa Media News – Korupsi semakin menggurita di negeri ini. Bagaimana tidak? Hampir di semua jabatan, terjadi tindak pidana korupsi. Hal ini mungkin karena kebijakan dan sangsi yang tidak tegas kepada para pelaku sehingga tidak memberi efek jera. Padahal di Indonesia ada payung hukum yang mengatur tentang hukuman mati, yaitu pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) menyatakan bahwa: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah ketika terjadi bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya.

Seperti pada kasus Heru Hidayat yang dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam perkara ASABRI. Ia bekerjasama dengan mantan Direktur Utama ASABRI, Adam Damiri dan Sonny Widjaja. Kasus ini mengakibatkan negara rugi Rp 22,7 triliun.

Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heru Hidayat telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta Pasal 55 ayat (1) pertama KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Oleh karena itu, JPU menuntut terdakwa dengan pidana mati. Terdakwa juga harus membayar ganti rugi sejumlah Rp 12.643.400.946.226,00 dalam waktu satu bulan. Jika uang ini tidak diganti sesuai waktu yang telah ditentukan, maka jaksa akan menyita serta melelang harta benda yang dimiliki sebagai uang pengganti
(tempo.co 9 Desember 2021).

Wacana hukuman mati didukung oleh berbagai pihak seperti Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi juga menunjukkan dukungannya dengan menyatakan akan merevisi undang-undang Tipikor supaya koruptor bisa dijatuhi hukuman mati.

 

Hukuman Mati, Sekadar Narasi

Selama masih mengadopsi kapitalisme, maka Indonesia tidak akan pernah terlepas dari gurita korupsi. Korupsi sudah mengakar dan membudaya. Adanya UU Tipikor Pasal 2 ayat 2 tentang aturan hukuman mati bagi pelaku korupsi nyatanya tidak ada realisasi hingga hari ini. Hukuman mati hanya sekedar narasi! Apalagi masih ada pihak yang kontra dengan menganggap hukuman mati sebagai pelanggaran HAM.

Kapitalisme merusak pemikiran umat Islam untuk berkiblat pada materi dengan memisahkan agama dari kehidupan. Selama sesuatu memberikan keuntungan, maka cara apapun akan ditempuh untuk meraihnya meskipun melalui jalan yang diharamkan karena tidak adanya ketundukan terhadap hukum Allah. Padahal sudah jelas larangan korupsi dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 29:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ اِلَّاۤ اَنۡ تَكُوۡنَ تِجَارَةً عَنۡ تَرَاضٍ مِّنۡكُمۡ‌ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَنۡـفُسَكُمۡ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيۡمًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

 

Bagaimana Islam Mencegah Korupsi?

Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi termasuk dalam ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).

Ada berbagai cara yang dilakukan Islam dalam upaya mencegah korupsi yaitu: 1) Negara memberi gaji yang layak, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup; 2)
Melarang menerima suap; 3)
Negara menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan seorang pejabat sebelum dia menjabat dan sesudah menjabat; dan 4) Negara menetapkan hukuman keras pada pelaku korupsi dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, penyitaan harta, pengasingan, hukum cambuk hingga hukuman mati bagi pelaku.

Selain itu, negara berusaha semaksimal mungkin menciptakan suasana takwa sebab ketakwaan adalah modal utama seorang muslim. Ketika seorang muslim memiliki ketakwaan yang kuat, apapun perbuatan yang akan dilakukan selalu dikaitkan dengan hukum Allah karena dia menyadari hal itu adalah bagian dari ketundukannya pada Allah.

Wallahua’lambishawwab.

 

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis