Krisis Listrik, Bukti Cacatnya Sistem Kapitalistik
Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Lensamedianews.com– Krisis listrik yang tengah melanda Indonesia memunculkan pertanyaan besar. Bukankah batubara sebagai sumber energi listrik, melimpah jumlahnya? Namun, mengapa Indonesia mengalami krisis?
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral mencatat, produksi batubara Indonesia mencapai 606,22 juta ton pada tahun 2021 (katadata.co.id, 12/11/2021). Meningkat 7,3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir dan meningkat 7,2% dibandingkan tahun 2020 lalu (databoks.katadata.co.id, 12/11/2021).
Direktur Eksekutif IESR, Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, mengungkapkan krisis batubara terjadi karena adanya ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation sebesar 25% (okezone.com, 4/1/2021). Artinya pemasok yang seharusnya memasok batubara nasional, tapi tak melakukan pasokan. Pemasok lebih mementingkan ekspor yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi daripada memasok batubara ke PLN yang nilai ekonominya lebih kecil.
Hal ini wajar adanya sebab sistem ekonomi kapitalis berprinsip, meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin, tanpa memikirkan maslahat umat. Inilah yang menjadi penyebab utama ketimpangan ekonomi. Rusaknya prinsip ekonomi yang mengampu, melahirkan kerusakan nasib umat. Pengelolaan sumberdaya yang disetir asing dan swasta membuat pemerintah tak bertaji dalam memutuskan kebijakan. Lemah dalam kedaulatan ekonomi.
Pengamat Kebijakan Publik, Said Didu M.Eng, mengungkapkan bahwa praktik oligarki di Indonesia sangat sempurna (mediaumat.id, 1/1/2022). Menurutnya, kebijakan yang diciptakan pun disesuaikan dengan “kemauan” para oligarki. Hasilnya terciptalah berbagai “kemudahan” bagi pihak asing dan swasta untuk meraup untung sebesar-besarnya.
Syariat Islam, mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya yang amanah untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Kekayaan alam adalah salah satu kepemilikan umum yang wajib dikelola negara. Haram hukumnya jika pengelolaan tersebut diserahkan kepada pihak asing dan swasta.
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul SAW. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul SAW. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR. At-Tirmidzi).
Tambang, baik garam, emas, perak, batubara, besi, timah, nikel, minyak, dan sebagainya, wajib dikelola negara. Dalam kitab Ibnu Qudamah, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Dengan demikian, negara wajib amanah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kekayaan bumi tanpa mengikutsertakan pihak asing, swasta atau individu dalam pengurusannya. Hanya dalam sistem Islam, negara dapat optimal melaksanakan tugasnya sebagai pengatur dan pengelola sumberdaya hingga terciptalah kesejahteraan umat. Baldatun thayyibatun warrabbun ghafur. Wallahua’lambisshawwab. [lnr, LM]