Pinjol, Malapetaka Akibat Sistem Kufur

Oleh. Yustika Devi

(The Great Muslimah Community) 

 

Lensa Media News – Indonesia darurat pinjaman online yang menjadi trending topic di Twitter pada Jumat (18/6/2021). Salah satu dari akun @kanseulir mengunggah video pendek yang menampilkan bagaimana seseorang berusaha menjebak temannya melalui pinjaman online (pinjol). Dalam video pendek tersebut diceritakan bahwa dengan mudahnya KTP yang merupakan data pribadi seseorang bisa digunakan orang lain yang tidak bertanggung jawab untuk mendaftar ke akun pinjol (cnbcindonesia, 18/6/2021).

Menariknya lagi, menjadi karyawan pinjol sangat fantastis, perusahaan mengiming-imingi masyarakat untuk bekerja sebagai karyawan pinjaman online (pinjol) ilegal, yakni Rp15-20 juta per bulan untuk tiap karyawan. Penyedia dananya ternyata warga negara asing (WNA) (Tribunnews.com, 15/10/2021).

Pinjaman online atau pinjol ini merebak seiring dengan perkembangan teknologi digital. Peminjam cukup mengisi formulir yang ada di web atau aplikasi perusahaan Fintech. Berbagai iming-iming yang ditawarkan oleh perusahaan Fintech, di antaranya proses yang mudah dan cepat, tanpa syarat, tanpa survei, tanpa agunan, dana pasti cair, dan lain-lain. Iming-iming ini banyak masyarakat yang tergiur dan mengajukan pinjaman online tanpa membaca secara detail syarat dan ketentuannya, sebanyak 68 juta orang/akun tercatat memanfaatkan layanan ini. Dengan Financial Technology (Fintech), terjadi putaran uang atau omset mencapai Rp260 triliun, saat ini ada 107 lembaga penyedia jasa pinjol yang terdaftar resmi di OJK dan tergabung dalam asosiasi Fintech.

Berdasar regulasi yang ada, OJK juga membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk membangun peer to peer (P2P) lending di Indonesia dengan syarat mematuhi semua regulasi tanpa terkecuali. Sesuai POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi, kepemilikan asing di sektor P2P lending terbatas hingga 85%. Per September 2019, terdapat 39 Fintech asing yang terdaftar di Indonesia. Mereka memiliki platform Fintech baru atau membentuk joint venture bekerja sama dengan mitra lokal. Bagi asing, Indonesia merupakan pasar besar, potensinya luar biasa, pertumbuhan ekonominya sangat baik, PDB bagus, dan terdapat pelaku UMKM yang sangat banyak. Temuan Satgas Waspada Investasi OJK menunjukkan banyak penyelenggara Fintech asing ilegal dan 50% berasal dari tiga negara besar, yakni Cina, Amerika Serikat, dan Singapura. Satgas juga menemukan banyak pelanggaran oleh perusahaan Fintech ilegal.

Tanpa disadari masyarakat, ternyata ada bahaya besar di dalamnya. Bunga yang ditetapkan perusahaan pinjol sangatlah besar. Pada perusahaan Fintech yang resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja, bunga pinjaman bisa mencapai 0,8% per hari atau 24% per bulan. Sedangkan pada perusahaan Fintech yang ilegal, bunganya bisa mencapai 30% per bulan. Selain bunga, biaya administrasi dan denda keterlambatan juga sangat besar. Ngerinya, sistem bunga berbunga menjadikan jumlah pinjaman yang harus dibayar begitu cepat membengkak hanya dalam hitungan hari.

Lalu mengapa pinjol menjadi favorit bagi masyarakat? Bila ditelusuri dengan cermat, tidak lain faktor penyebab pinjol diminati masyarakat, serta menjadi salah satu tumpuan solusi ekonomi oleh sebagian warga. Disebabkan karna lemahnya ekonomi masyarakat. Berdasarkan data BPS 2019, jumlah penduduk rentan berpendapatan per kapita Rp25 ribu mencapai 52,8%. Sementara, menurut laporan Bank Dunia pada 2020, total kelompok miskin, rentan, dan menuju menengah mencapai 78,3%. Untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti makan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, masyarakat menilai pinjol itu solusi. Prinsipnya “gali lubang tutup lubang”. Bukan perkara yang aneh lagi bila seorang warga terlibat dalam belasan perusahaan pinjol. Padahal transaksi Fintech, pinjol legal maupun ilegal sebenarnya sama saja, keduanya mengandung transaksi riba, Allah Swt berfirman:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (TQS.Al-Baqarah: 275)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (TQS Al-Baqarah: 278)

Di dalam negara Khilafah, masyarakat hidup tanpa riba dimana negara bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada masyarakat, serta membangun kesadaran kolektif akan keharaman riba dan bahayanya bagi kehidupan. Pintu kebodohan masyarakat terhadap syariat tentang riba mesti tertutup rapat. Demikian juga segala akses menuju riba.

Sistem perbankan dan lembaga finansial lain yang bertentangan dengan syariat tidak boleh tumbuh dan berkembang di wilayah negara Islam. Adapun jika masyarakat membutuhkan dana untuk kegiatan produktif, akan ada baitulmal yang memiliki pos kepemilikan negara daulah memberikan pinjaman tanpa riba. Bahkan, sangat mungkin Baitulmal memberikan _(iqtha’)_ dana tanpa menuntut pengembalian dari masyarakat.

Wallaahu a’lam.

 

[mi/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis