Oleh: Ika Nur Wahyuni

 

Aku tergegap dari mimpi buruk yang akhir-akhir ini menghantuiku. Mas Nugroho menggeliat sebentar karena tanganku bergerak dalam genggamannya. Kubuka gawaiku, jam masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Kepala Mas Nugroho bersandar di bahuku.

Aku merasa kereta berjalan sangat lamban. Padahal sebentar lagi kita sampai di stasiun yang kita tuju. Nanar kutatap keluar jendela hanya kegelapan yang terlihat, sesekali saja kulihat pelita dari rumah-rumah di pinggiran rel kereta.

Huft, aku menarik nafas panjang sambil kugerakan kakiku yang sedikit kaku. Mas Nugroho kembali menggeliat, matanya terpicing.
“Kenapa, sayang?” dia berkata sambil mengeratkan genggamannya di tanganku.
“Nggak apa-apa, Mas,” jawabku.

Kemudian dia menegakkan tubuhnya. Memakai sepatu yang tadi dilepas. Kemudian menurunkan koper kecil dari rak barang yang ada di atas kami. Dia lalu berdiri sambil menarikku yang malas beranjak dari kursi.

“Hayu, sebentar lagi sampai.”

Aku pun mengikutinya. Ini adalah pertama kali aku menginjakkan kaki ke tanah kelahiranku setelah tragedi yang menimpa keluargaku. Mas Nugroho masih erat menggenggam tanganku yang dingin dan gemetaran. Kulihat adikku sudah menjemput di pintu peron, dia melambaikan tangannya ke arah kami.

Diciumnya pipiku seraya memelukku erat. Farhan, suami adikku pun buru-buru mencium kedua tangan Mas Nugroho. Kemudian mengambil koper kecil yang dibawa suamiku. Kami pun berjalan beriringan menuju mobil angkot yang telah menunggu. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam sampailah kami di sebuah rumah. Rumah yang dulu selalu aku rindukan. Aku ragu untuk melangkah.

“Masuk, Mba Nay,” lirih adikku berkata. Dia menungguku, wajahnya sendu.

“Biar kita diluar dulu, Ra. Mungkin Mbakmu pengin menghirup udara segar setelah seharian naik kereta,” sahut Mas Nugroho seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.

“Baiklah, Mas. Rara bikin teh hangat dulu ya.” Rara menatapku, kulihat gurat kekecewaan di sana.

Setelah Rara masuk, Mas Nugroho menuntunku ke teras depan. Masih ada sepasang kursi tempat aku dan Rara belajar dulu. Seperti orang linglung, Mas Nugroho membantuku duduk.

“Kita pulang saja, Mas. Aku ga kepengin ketemu Bapak.”

“Sayang, kuatkan dirimu. Lapangkanlah dadamu untuk memaafkan Bapak. Bagaimanapun Bapak adalah orang yang harus kita hormati, apapun yang dilakukannya di masa lalu. Jasa Bapak gak bisa dibandingkan dengan apapun. Mas yakin kamu orang yang pemaaf dan Mas tahu kamu sangat merindukannya.” Kedua tangannya menghapus airmataku.

Tiba-tiba dari dalam kamar Rara berteriak, “Bapak … Mba Nay sudah pulang, Pak. Mbak Nay sudah maafin Bapak.”

Bergegas Mas Nugroho menggapit tanganku, buru-buru kami masuk menuju kamar Bapak. Kulihat Bapak tersengal, Mas Nugroho menggenggam tangan Bapak sambil menalqin di kedua telinganya. Aku hanya termangu, Rara menangis dipeluk Farhan.

Kulihat Bapak berbisik lemah di telinga Mas Nugroho yang kemudian mengulurkan tangannya kepadaku. Sedikit ragu, aku menyambut uluran tangan Mas Nugroho. Kemudian tanganku dipersatukan dengan tangan Bapak yang mulai dingin.

Jebol sudah pertahananku untuk tidak menangisi Bapak. Kuletakkan tangan keriputnya di pipiku. Dengan sisa tenaga Bapak membelai pipiku.

“Nay, maafin Bapak. Bapak tak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu.” Terbata-bata kata itu keluar dari mulutnya. Aku menangis tersedu.

Tangan Bapak terkulai, nafasnya tersengal. Mas Nugroho tak berhenti menalqin, akhirnya satu sentakan lembut membuat Bapak memejamkan mata. Syahadat adalah kata yang terakhir kudengar lirih dari bibirnya.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” Mas Nugroho berkata lirih.

“Bapak … “, aku berteriak histeris. Pandanganku gelap, kurasakan tangan Mas Nugroho dengan sigap menyambut tubuhku sebelum terjatuh ke lantai. Semua kurasa gelap.

Tepukan lembut dan bau minyak yang menyengat menyadarkanku. Kepalaku terasa berat, dadaku seperti terhimpit. Samar kulihat Rara di samping tempat tidur. Matanya sembab, aku ingin langsung berdiri. Tapi Rara mencegahku.

“Minum dulu, Mba.” Rara mengambil segelas air di meja dekat tempat tidur. Aku meminumnya seteguk.

“Bapak, Ra … ” Aku terisak.

Rara memelukku, kemudian kita menangis bersama. Setelah agak tenang Rara melepas pelukannya. Menghapus airmataku kemudian membantuku berdiri.

“Bapak sudah dimandikan dan dikafani. Kami sengaja menunggu Mbak sadar baru menguburkan Bapak. Mas Nugroho dan Mas Farhan sudah ada di pemakaman. Pak Aris yang mengurus semua disini, jenazah Bapak mau dishalatkan di masjid.”

Panjang lebar Rara menjelaskan. Aku hanya mengangguk saja. Kemudian Rara menuntunku ke ruang tamu. Lantunan surat Yasin dan tahlil riuh terdengar. Bau harum menguar ketika aku memasuki ruang tamu. Bukan harum bunga yang sering ditaburkan ke atas makam, sesuatu yang lain. Sangat harum.

Kulihat jenazah Bapak sudah rapi terbungkus kain kafan. Suara Yasin dan tahlil lambat laun mulai berhenti. Orang-orang mulai bersiap-siap mengantar jenazah Bapak untuk dishalatkan di masjid dekat jalan raya.

“Mbak Nay, barangkali mau melihat jenazah Bapak untuk terakhir kali.” Kata Pak Aris, ketua RT disini. Aku hanya mengangguk, lidahku kelu untuk berkata-kata.

“Nay, sudah memaafkan Bapak. Maafkan Nay, Pak.”

Tergugu aku bersimpuh di samping jenazah Bapak. Kemudian aku mencium pipinya, rupanya bau harum itu berasal dari jenazah Bapak yang seperti sedang tertidur lelap. Aku memeluk orang terkasih yang sempat kubenci beberapa tahun terakhir ini. Agak sedikit terhuyung ketika berdiri, Rara sigap memegangiku.

“Silahkan Pak, sudah saatnya Bapak saya dikebumikan.”

“Baik, Mba Nay.” Kemudian Pak Aris dan warga yang lain mengangkat jenazah Bapak untuk diletakkan di atas keranda.

Setelah prosesi pemakaman selesai, aku dan Mas Nugroho beristirahat di kamar yang dulu kutempati. Aku terlelap, bermimpi bertemu Bapak yang mengenakan baju ihram. Wajah Bapak tampak berseri, dia meletakkan kedua tangannya di pipiku.

“Sayang, bangun …” Tepukan lembut di pipi membuatku terjaga. Kulihat Mas Nugroho sudah berganti pakaian, rapi sekali.

“Mandi dulu ya, Mas udah siapkan air hangat buatmu. Kamu pasti lelah.”
Aku mengangguk. Aku memandangnya. Bersyukur memiliki lelaki sepertimu. Selalu ada di sampingku, selalu menguatkan aku, sabar membimbing dan menasehati aku.

“Iya tahu kamu cinta banget sama, Mas kan. Tapi mandi dulu nanti cinta Mas berkurang loh! Soalnya isteri cantikku bau asem.” Mas Nugroho terkekeh. Kucubit pinggangnya mesra.

“Gede rasa,” sahutku manyun sambil mengambil handuk yang Mas Nugroho sodorkan.

Dia tambah terkekeh. Aku langsung menuju kamar mandi, segar rasanya mandi air hangat. Aku pun bersiap untuk membantu Rara di dapur. Malam ini acara tahlil. Aku menuju dapur, rupanya semua sudah siap.

“Ada yang bisa kubantu, Ra.”

Rara menoleh mendengar suaraku. Kemudian dia menghampiriku.

“Semua sudah siap kok. Mba istirahat aja, masih capek kan. Rara udah bikinkan teh hangat sama jajanan pasar kesukaan Mbak Nay.”

Kemudian Rara menggamit lenganku, mengajakku duduk di teras. Kulihat ada tamu yang sedang mengobrol dengan Mas Nugroho dan Farhan. Aku dan Rara saling berpandangan melihat tamu yang datang. Buru-buru aku menghampirinya tanpa bisa dicegah oleh Rara.

Dengan berapi-api aku berkata, “Mau ngapain kamu kesini? Apa ga cukup yang keluargamu lakukan kepada kami?”

Mba Sum mendongak, matanya berkaca-kaca. Kulihat disampingnya, Dini. Anaknya yang dulu masih kecil, kini beranjak remaja. Aku tidak perduli.

“Jadi anak kecil ini yang dijadikan senjata kalian untuk memfitnah Bapakku? Dasar manusia ga punya hati. Kalian tega memfitnah Bapak sampai Ibukku meninggal dan aku membenci Bapakku sendiri karena kalian. Sekarang mau apa kesini, minta maaf? Orang yang kalian fitnah sudah bahagia di sisi Allah. Sekarang urusan kalian dengan Allah bukan lagi dengan keluarga kami. Pergi kalian dari sini!” Teriakku nyaris histeris.

Mas Nugroho buru-buru memelukku. Rara pun menangis di belakangku.

“Maafkan keluarga kami Mba Nay, Mba Rara. Ampuni keluarga kami.” Meraung Mba Sum sambil bersimpuh.

Kulihat Dini ikut bersimpuh bersama ibunya sambil menangis sesegukan.
Aku tak bergeming. Ingin rasanya mencabik-cabik perempuan itu dan putrinya. Mas Nugroho berbisik pelan di telingaku.

“Allah bersama orang yang pemaaf, Sayang. Bahkan Bapak disaat terakhirnya juga mengucapkan itu. Beliau memaafkan keluarga yang memfitnahnya. Bersabarlah seperti yang Bapak lakukan.”

Aku memandang Mas Nugroho, matanya meyakinkanku. Perlahan Mas Nugroho melepaskan pelukannya. Dia mengeratkan genggaman tangannya. Mengangguk perlahan, kemudian melepaskan tanganku.

“Aku ga bisa, Mas. Gak bisa. Karena perbuatan merekalah, bertahun-tahun aku membenci Bapakku sendiri. Aku tidak akan memaafkan mereka.”

Aku menggeleng dengan kuat. Aku teringat bagaimana hancurnya keluarga kami, dikucilkan dan terhina bahkan sampai membuat ibuku meninggal karena memikirkan Bapak. Sekonyong-konyong, kutendang wanita di depanku ini. Tapi, tiba-tiba pandanganku gelap. Dan kurasakan pelukan bapak. Bapak, apa bapak masih hidup? Entahlah. Gelap.

Nduk, Nduk, ini bapak,” suara yang sangat aku rindukan. Perlahan kubuka mataku demi mendengar suara wibawa itu. Kulihat Bapak duduk di sampingku mengenakan pakaian ihram. Mengelus rambutku, wajahnya sangat bersih.

“Kebencian dan dendam akan mengotori hatimu. Memaafkan adalah obatnya dan Allah bersama orang-orang pemaaf.” Merdu suara bapak di telingaku. Seolah mengalir ketentraman dlaam lubuk hatiku.

Kemudian Bapak mencium keningku. Dan perlahan berjalan menjauh, menghilang di balik pintu. Aku memejamkan mataku, menangis tersedu.

“Bapak … “

Saat kubuka mataku yang terlihat Mas Nugroho menggenggam erat jemariku. Sementara, Rara, dan Farhan yang sedang mengelilingiku.

“Aku memaafkan mereka …” kataku lirih diiringi cairan hangat yang keluar dari kedua pelupuk mata nan tak bisa kutahan.

Kudengar mereka mengucapkan hamdalah bersama-sama.

Aku memandang Mas Nugroho, matanya meyakinkanku diiringi dengan kecupan di keningku. Dia mengeratkan genggaman tangannya.

“Alhamdulillah. Dendam tidak akan membawa kebaikan, Sayang. Bismillah. Kamu bisa.” Suara Mas Nugroho lirih namun memiliki kekuatan menghujam di dada ini. Ini sebuah kebenaran.

“Maafkan Dini, Tante. Pakde Jun tidak pernah melakukan apapun sama Dini. Pakde Jun orang baik, suka ngasih uang jajan sama Dini pas Mama gak punya uang. Tapi Bude Lilis maksa Dini supaya mengaku kalau Pakde Jun berbuat tak senonoh. Padahal waktu itu Dini jatuh dari sepeda sampai berdarah. Salah Dini yang gak bilang Mama, takut dimarahi.”

Suara anak kecil itu tiba-tiba mengagetkanku. Dia sedang duduk bersimpuh di ujung ruangan. Hatiku bergetar.

Yaa Rabb. Ampunkan hamba, yang masih belum bisa menahan amarah, menghapus angkara di hati. Bapak, maafkan aku. Astagfirullah.

“Iya Mbak Nay, ampuni saya yang terhasut omongan Kakak ipar saya.”

“Sudah Mbak. Aku memafaakan kalian, demikian juga Bapak sudah memaafkan kalian. Mungkin ini saatnya kita memperbaiki diri. Jadikan ini pelajaran berharga untuk kita semua. Saya dan keluarga sudah memaafkan,” kutenangkan diri sembari berusaha duduk.

Rara yang di samping kiriku segera memelukku sambil berkata, “ Mbak Nay, aku bangga. Aku rindu dirimu yang seperti ini. Selama ini Mbak seperti orang lain.”

Aku memeluk adikku yang shalihah erat-erat. Aku semakin merasa menyesal dan merasa bersalah kepada Bapak. Mengapa di detik-detik terakhir hidupnya, aku baru bisa memaafkannya. Bapak memang orang yang luar biasa. Ketabahan, kesabaran,dan keikhlasannya menjalani semua ini.

Fitnah keji yang ditujukan pada dirinya, membuat Bapak semakin taat kepada Allah. Bahkan menyerahkan sisa hidupnya menjadi marbot masjid tanpa bayaran sepeserpun. 12 tahun penjara karena perbuatan yang tak pernah dilakukannya diterima dengan lapang dada bahkan kebencianku dihadapi dengan kelembutan.
Bapak, maafkan aku.

Karawang, 2 July 2021

Please follow and like us:

Tentang Penulis