Sembako Dikenai Pajak, Harga Melonjak

Oleh: Ummu Afif

(Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News – Publik kembali dihebohkan dengan kebijakan pemerintah yang penuh kontroversi. Kali ini, pemerintah berencana menarik PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sembako hingga sektor pendidikan. Rencana ini termuat dalam revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Mengutip draft RUU, sembako yang dikenakan PPN adalah beras dan gabah, jagung, sagu, buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

RUU KUP juga menghapus beberapa barang tambang maupun hasil pengeboran yang semula tidak dikenai pajak. Hasil tambang yang dimaksud tidak termasuk tambang batu bara. Pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN. Di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, dan jasa asuransi.

Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, rakyat akan menanggung beban yang semakin berat. Pihak yang paling terdampak dalam kebijakan ini tentu adalah rakyat kecil. Padahal, saat ini saja sembako sudah sangat tinggi harganya. Dengan adanya PPN, maka harga kebutuhan sehari-hari akan semakin mencekik. Bisa dipastikan, kesejahteraan akan semakin jauh dari harapan.

Sungguh, kebijakan ini akan menambah daftar panjang kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Padahal Allah berfirman, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepeda manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu akan mendapat azab yang pedih” (QS. Asy-Syura: 42).

Berbeda jauh jika kita bandingkan konsep pajak dalam sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dalam sistem kapitalis, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat, baik yang kaya maupun tidak. Hal ini dikarenakan pajak memang menjadi sumber utama pemasukan negara dalam APBN, hingga proporsinya ditarget jauh lebih tinggi dari sektor lain. Karena itulah, berbagai hal dapat dijadikan objek pajak untuk memenuhi target penerimaan negara.

Sedangkan dalam sistem Islam, pajak atau dharibah memang ada, tetapi tidak dipungut secara rutin, melainkan hanya insidental saat kas negara (Baitul Mal) dalam kondisi kosong. Itu pun hanya dipungut pada warga negara yang mampu. Jika problem kekosongan Baitul Mal sudah teratasi, maka penarikan pajak harus segera dihentikan agar tidak membebani rakyat.

Pajak juga tidak boleh dijadikan sebagai sumber utama penerimaan APBN atau Baitul Mal. Dalam ketetapan syariat, sumber penerimaan negara sangat beragam. Bisa dari kepemilikan individu (hibah, sedekah, zakat), kepemilikan negara (fa’i, khazraj, jizyah, ghanimah, dan lainnya), serta kepemilikan umum (sumber tambang yang depositnya tak terbatas, migas, hutan, dan lain-lain).

Pos kepemilikan umum inilah yang bisa mendatangkan pemasukan yang besar bagi negara. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme seperti yang diterapkan di negeri ini, alih-alih mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, negara justru menyerahkannya pada pihak asing. Akibatnya rakyatlah yang dibebani pajak yang tinggi demi mencukupi pemasukan negara.

Jelaslah, sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri inilah biang keladinya. Membuat pajak semakin menggila dan rakyat kian sengsara. Maka dari itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistematis. Ubah sistem kapitalisme yang terbukti menyengsarakan rakyat, dan ganti dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam daulah khilafah Islamiyyah. Karena hanya dengan khilafah, umat akan hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan, serta terwujudlah rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis