RKUHP, Jurus Resistensi Kritik ala Demokrasi

Oleh: Renita

(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Publik dihebohkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru yang kembali digulirkan. Sejumlah isu krusial kembali diangkat yang sebelumnya sempat ditunda lantaran demonstrasi besar-besaran pada 2019. Dikutip dari Tirto.id (09/06/2021), pasal bermasalah itu terletak pada Bab II, Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tepatnya Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Ancaman penjara tersebut dapat meningkat menjadi empat (4) tahun enam (6) bulan jika penghinaan itu dilakukan melalui media elektronik.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan digulirkan kembalinya ketentuan tersebut bukan untuk mengkriminalisasi kritik dari masyarakat. Menurutnya, pasal tersebut disusun untuk membentengi presiden dan wakil presiden dari penghinaan personal, bukan kritik. Ketentuan tersebut juga dijadikan delik aduan artinya pemidanaan terkait penghinaan bisa dilakukan jika presiden dan wakil presiden mengadukannya terlebih dahulu kepada kepolisian. Yasonna berujar tidak masalah jika dirinya dikritik sebagai Menkumham yang tidak becus. Namun, jika penghinaan tersebut menyerang personal seperti mengatakannya anak haram jadah, maka itu tidak bisa diterima.

Berbicara terkait RKUHP, ternyata undang-undang ini merupakan produk lama yang pembahasannya masih stagnan lantaran banyak UU bermasalah di dalamnya. Termasuk UU penghinaan presiden, yang diketahui merupakan warisan kolonial Belanda yang digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda, kemudian diadopsi pemerintah dalam pasal 134 KUHP. MK pun secara tegas menyatakan Pasal 134 inkonstitusional dan mencabut pasal tersebut. Namun, pemerintah tetap ngotot ingin meloloskan RKUHP ini. Hal ini seakan menegaskan abainya pemerintah terhadap tuntutan publik. Banyaknya masyarakat yang menolak RKUHP ini, ternyata tak digubris sama sekali.

Beginilah sistem demokrasi, aturannya selalu berubah serta mudah direvisi sesuai kepentingan yang dicari. Perjalanan panjang RKUHP memang tak lepas dari kontroversi, akhirnya bongkar pasang regulasi pun senantiasa menghiasi. Padahal, demokrasi selama ini diklaim sebagai satu-satunya solusi. Namun, nyatanya undang-undang demokrasi begitu mudah dimanipulasi. Seperti halnya kritik terhadap pemerintah yang malah dibatasi bahkan diancam dengan hukuman sanksi. Alih-alih mengharapkan banyak masukan masyarakat demi perbaikan negeri, pemerintah malah sibuk memperbanyak regulasi untuk membungkam sikap kritis anak negeri.

Sungguh ironis, negeri yang mengaku paling demokratis ini, malah mencederai demokrasi itu sendiri. Kebebasan berpendapat yang menjadi penyangganya, dikebiri dengan dalih melanggar konstitusi. Kritik masyarakat dianggap sebuah ancaman yang harus dibungkam sejak dini. Nyatanya, inilah resep manjur penguasa dalam meneguhkan hegemoni. Masyarakat dipaksa diam melihat kedzaliman dan intervensi. Akhirnya, kekuasaan hanya dijadikan alat gebuk penguasa pada siapapun yang beroposisi.

Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang mewajibkan muhasabah lil hukkam dengan aturan main yang ditetapkan syara. Kritik dalam Islam merupakan sebuah kebaikan, sebab kritik berfungsi untuk meluruskan kesalahan penguasa. Mengoreksi penguasa yang keliru, termasuk perkara yang diperintahkan dalam Islam. Rasulullah Saw. bersabda :

Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).

Dari hadits di atas, jelas terdapat keutamaan untuk mengoreksi penguasa, serta menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zalim. Orang yang mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, disamakan derajatnya dengan penghulu syuhada. Hal ini mengisyaratkan pujian bagi orang yang melakukan amar ma’ruf terhadap penguasa. Selain itu, ketika perbuatan ini tidak dilakukan tentu akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam. Maka, menasehati dan mengoreksi penguasa hukumnya wajib.

Oleh karenanya, dalam sistem demokrasi kapitalis yang rusak dan merusak hari ini, tak cukup bersikap diam dan berdoa saja terhadap semua kebijakan yang bertentangan dengan hukum syariat. Sebab, hal itu justru akan menyebabkan kaum muslimin terus menerus dalam kekuasaan yang zalim. Maka, saatnya kembali pada sistem Islam yang menerapkan seluruh hukum Al-Quran di dalam seluruh aspek kehidupan, hingga terwujud kepemimpinan yang mengayomi dan mengurus rakyat dengan sepenuh hati, bukan penguasa penuh dengan ancaman dan sanksi.

Wallahu a’lam bishshawab.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis