Ketika Hukum Tunduk pada Sang Markus
Eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari kembali menjadi perhatian publik. Pemantiknya adalah putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang “menyunat” hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun dengan denda Rp600 juta (Tirto.id 15/06/2021).
Padahal, putusan tingkat pertama Pinangki adalah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sehingga ia divonis 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan.
Namun, vonis Pinangki tersebut dianulir hakim Pengadilan Tinggi Jakarta. Hakim berdalih mengurangi hukuman karena Pinangki selaku terdakwa sudah mengaku bersalah, menyesal, dan mengikhlaskan diri dipecat sebagai jaksa. Terdakwa adalah ibu dari anak balita sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh anak dan memberi kasih sayang kepada anaknya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengritik putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, Pinangki layak dihukum lebih berat hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup karena statusnya sebagai jaksa. Sebab, Pinangki melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Berdasarkan tiga tindakan tersebut maka Putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat publik.
Ya, kasus di atas kian menegaskan bahwa lembaga kehakiman di bawah hukum sekuler memang tidak berpihak pada pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan KPK sebagai lembaga anti rasuah pun tak berdaya. Alih-alih pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama. para pimpinan KPK justru melemahkan KPK dari dalam dengan menyingkirkan para pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Sudah saatnya menghadirkan sistem peradilan yang tegas tak pandang bulu. Agar masyarakat tak menelan pil pahit kekecewaaan akibat ketidakadilan produk hukum buatan manusia. “ Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari no 6788 dan Muslim no. 1688).
Wallahu a’lam bishowwab.
Teti Ummu Alif,
(Kendari, Sulawesi Tenggara)
[hw/LM]