Lagi-Lagi Utang, Sampai Kapan ?
Oleh : Azimah Han
(Aktivis Dakwah)
Lensa Media News – Lagi-lagi pemerintah Indonesia berutang ke Luar Negeri, padahal sebelumnya Indonesia sudah sering berutang. Pengamat ekonomi Indef, Didik J. Rachbini memperkirakan, pada akhir periode, pemerintahan Jokowi akan mewariskan utang lebih dari Rp10.000 triliun. Pakar ekonomi Indonesia, langsung bereaksi mengenai hal ini. Bahkan sebagian masyarakat mempertanyakan, apa urgensitas dari utang yang di ambil. Bagai besar pasak dari pada tiang, utang bertambah, namun keadaan ekonomi semakin parah.
Sungguh potret perekonomian bangsa yang buruk. Membayar utang dan bunganya dengan utang baru, alias gali lubang tutup lubang. Negeri Kaya SDA, berlimpah ruah utang kementerian keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah mencapai Rp6.527,29 triliun pada April 2021. Angka ini setara 41,18 % produk domestik bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN) domestik, yakni sebesar Rp4.392,96 triliun. (databoks.katadata.co.id, 10/6/2021).
Adapun SBN valuta asing (valas) tercatat sebesar Rp1.268,58 triliun. Selain SBN, terdapat utang pemerintah berupa pinjaman yang didominasi oleh pinjaman dari luar negeri sebesar Rp865,74 triliun. Belum lagi di tambah utang-utang lainnya yang ditanggung oleh negara.
Alasan pemerintah “sederhana”, karena negara membutuhkan uang dalam menjalankan roda pemerintahannya, terlebih pada masa pandemi. Belum lagi, ditambah dengan penerimaan negara yang menyusut akibat melambatnya ekonomi nasional.
Sungguh disayangkan, Indonesia yang merupakan negara yang kaya sumber daya alam. Harus berutang dengan negara lain. Ada apa? Apakah seluruh kekayaan negeri ini tidak mampu menutupi besarnya anggaran belanja? Atau ada yang salah dengan tata kelolanya?
Tingginya utang negara bukan semata karena menurunnya sumber pendapatan APBN atau banyaknya belanja negara. Akan tetapi, lebih disebabkan karena tata kelola ekonomi yang keliru, yaitu bercorak kapitalisme neoliberal. Warisan utang itu sudah berlangsung sejak negara ini merdeka. Presiden Soekarno pun mewariskan utang pada Presiden Soeharto sebesar 2,3 miliar dolar. Apalagi Presiden Soeharto, selama 32 tahun memimpin, meninggalkan utang sebesar Rp1.500 triliun pada presiden selanjutnya. Terus seperti itu hingga kini. (law-justice.co, 8/6/2021).
Pada hakikatnya, utang adalah alat penjajahan negara makmur terhadap negara berkembang, sehingga akan dibuat sedemikian rupa agar negara berkembang terus berutang. Pengurusan urusan negara melalui utang adalah cara yang paling berbahaya. Terutama bagi eksistensi negeri muslim, sebab setiap kebijakannya akan disetir oleh negara yang memberi utang.
Selain bahaya empiris yang disebutkan, faktanya utang ini pun berbasis riba. Jelas hal ini diharamkan dalam Islam. “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275).
APBN dalam sistem Khilafah yang disebut Baitulmal, telah terbukti kuat dan stabil. Pendanaan proyek-proyek pembangunan dalam Khilafah tidak bersumber dari utang dan pajak, tetapi melalui tiga pos penerimaan yang sudah ditetapkan syariat: Pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah. Inilah aturan Islam yang semata-mata datang dan diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyelesaikan seluruh problem umat manusia.
Wallahu ‘Alam bish shawab
[LM]