Keadilan Hukum Diinjak Pinangki
Oleh: Nanik Farida Priatmaja
Lensa Media News – Miris! Lagi-lagi negeri ini dipertontonkan tentang ketidakadilan hukum. Hukum begitu mudah dipermainkan. Hanya dengan adanya penyesalan terdakwa, maka vonis pun dipangkas. Begitu nampak bahwa keadilan hukum telah tunduk di kaki Pinangki. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Vonis Pinangki Sirna Malasari disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun. Pemotongan hukuman itu pun mendapatkan kecaman berbagai pihak. Potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu hakim menilai, status Pinangki sebagai seorang ibu dari anak balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya.
Ditilik ke belakang, pemotongan hukuman Pinangki itu sama dengan tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya kala itu, jaksa hanya menuntut Pinangki dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Pinangki disebut jaksa terbukti menguasai suap USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA. Pinangki juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (detik.com, 20/6/2021).
Kasus Pinangki bukanlah kasus ringan. Pasal berlapis menjerat Pinangki, yakni Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor tentang pemufakatan jahat, dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan TPPU. Pemotongan vonis Pinangki sungguh memperlihatkan terjadinya ketidaktegasan dan ketidakadilan terhadap terdakwa. Apalagi jika dibandingkan kasus-kasus lain dengan terdakwa yang serupa (ibu yang memiliki balita) atau dengan kasus lain yang lebih ringan dibanding pelanggaran hukum Pinangki.
Kasus Pinangki benar-benar mencederai rasa keadilan dan menunjukkan makin kuatnya mafia peradilan di Indonesia. Pemangkasan vonis begitu mudah dilakukan dengan alasan yang seolah-olah benar dan adil. Inilah PR besar anak bangsa dalam hal penegakan keadilan. Tak hanya kasus Pinangki yang menampakkan rapuhnya keadilan hukum. Semisal hukuman bagi koruptor dan fasilitas penjara atau kasus-kasus lainnya yang seharusnya tak layak mendapat pemangkasan vonis.
Rapuhnya keadilan hukum tak lain karena sistem hukum (sanksi) yang diterapkan adalah hasil dari buatan manusia. Sistem demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, menciptakan undang-undang yang jelas sangat rentan dipengaruhi kepentingan dan mudah dipermainkan. Wajar jika tak mampu mencegah kejahatan dan mewujudkan rasa keadilan.
Sistem hukum demokrasi kapitalis jauh berbeda dengan sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam diciptakan oleh Allah SWT. untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan dan mampu memberi efek jera bagi pelaku dan masyarakat luas. Akibatnya, manusia akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatan karena takut terhadap konsekuensi sanksi.
Penerapan hukum Islam jelas tak sama dengan penerapan hukum saat ini. Undang-undang Islam yang diterapkan bersumber dari Al-Qur’an, sunah, ijma‘ dan qiyas yang digali oleh para mujtahid yang amanah dan bertakwa. Kemudian didukung oleh para penegak hukum semisal qadli yang benar-benar hanya takut kepada Allah SWT., amanah dan mumpuni di beragam bidang sehingga tak memungkinkan menerima suap ataupun lobi-lobi oleh pihak-pihak manapun.
Tegaknya keadilan hukum dipengaruhi oleh banyak hal. Semisal individu-individu yang bertakwa, masyarakat yang peka dan peduli akan terwujudnya keadilan, serta negara yang dikelola dengan aturan Allah SWT. Negara dengan kebijakan-kebijakan yang memanusiakan manusia dan memperhatikan kesejahteraan manusia akan benar-benar menjamin terwujudnya keadilan di segala bidang. Tak hanya keadilan hukum semata. Namun juga, mengondisikan bagaimana agar masyarakat tersuasanakan takwa.
Munculnya tindak kriminal yang begitu banyak tak lain akibat tidak diterapkannya hukum Islam dalam kehidupan. Mafia hukum terjadi dengan mudah karena tak adanya rasa takut terhadap Tuhan mereka dan tak memahami bahwa kelak semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Kemudian produk hukum dibuat oleh manusia yang bertabiat lemah, mudah dipengaruhi kepentingan dan pastinya melahirkan produk hukum yang tak layak atau tepat diterapkan untuk manusia.
Kasus Jaksa Pinangki memperlihatkan bahwa tak layak mengharapkan keadilan hukum di sistem demokrasi kapitalis. Keadilan hukum telah terinjak Pinangki. Segera revolusi sistemik demi tegaknya keadilan hukum.
[lnr/LM]