Aksi Tikus Berdasi di Bekasi, Tak Lekang Meski Saat Pandemi

Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi

 

Kisah usang tikus-tikus berdasi
Yang suka ingkar janji, lalu sembunyi

 

Lensa Media News – Petikan syair lagu yang dipopulerkan oleh Iwan Fals ini menggambarkan tindak korupsi yang telah menggejala dari dulu hingga kini. Bagai sebuah kisah usang yang terus berulang, tindak tanduk para tikus berdasi malah kian menjadi.

Di Bekasi, polisi sedang menyelidiki adanya dugaan tindak pidana korupsi penyelewengan distribusi beras Bantuan Sosial (Bansos) yang diperuntukkan bagi warga Kabupaten Bekasi. Penyelidikan ini sebagai respon adanya keluhan warga Desa Karangjaya, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat bahwa beras bantuan tidak layak, berwarna kekuningan dan berbau (okezone.com, 4/6/2021).

Dinas Sosial Kabupaten Bekasi pun menindaklanjuti kasus dugaan korupsi beras bansos tersebut. Menurut Sekretaris Dinas Sosial Kabupaten Bekasi Kustanto, dari 1130 KK penerima manfaat bansos dari program Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) Kementerian Sosial, hanya satu orang yang mengeluhkan kualitas beras tersebut. Ia menambahkan, harusnya warga yang merasa kualitas berasnya jelek segera kembalikan ke E-Warong untuk diganti (suarabekasi.id, 6/6/2021).

Sungguh ironi melihat potret negeri. Dalam kondisi saat ini, dimana banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan akibat terdampak pandemi, justru ada pihak tidak bertanggungjawab tega mengambil hak orang lain. Tak lagi menimbang jika perbuatannya merugikan ataukah tidak, asal ada kesempatan langsung disikat. Dalam sistem saat ini, tikus-tikus berdasi demikian lihai melihat celah kesempatan mengambil keuntungan pribadi dari setiap program kebijakan yang digulirkan pemerintah.

Panjangnya tangan birokrasi penyaluran bantuan sosial dari pemerintah hingga diterima oleh masyarakat adalah celah rawan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk berbuat curang. Seperti yang dijelaskan oleh Kusnanto bahwa alur distribusi beras bansos BNPT diberikan dengan menyalurkan dana bantuan melalui BNI. Kemudian ditransfer ke rekening warga, barulah dibelanjakan di elektronik warung gotong royong (E- Warong) yang telah ditunjuk. Pihak Dinsos hanya melakukan pengawasan saja atas pelaksanaan program tersebut.

Sistem kapitalis yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan telah sukses membentuk karakter koruptor mulai dari tingkat pusat hingga level daerah. Adanya lembaga anti risywah (korupsi) dengan beberapa keberhasilannya memberantas tindak korupsi rupanya tak menjadikan nyali tikus berdasi menjadi ciut. Buktinya, laporan-laporan dugaan tindak korupsi terus bermunculan. Ibarat pepatah, hilang satu tumbuh seribu. Miris!

Ketidaktegasan tindakan hukum bagi para pelaku korupsi juga turut menyumbang tidak adanya efek jera bagi mereka. Tebang pilih penanganan kasus korupsi pun begitu kentara. Tengoklah kasus korupsi milyaran uang rakyat yang menguap dan pelakunya juga lenyap. Jika sudah seperti ini, dapatkah kita berharap kasus risywah akan tuntas?

Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Sistem Keuangan Negara Khilafah mendefinisikan korupsi sebagai harta yang dikorupsi para penguasa (wali), para ‘amil dan pegawai negara dari harta negara yang berada di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk membiayai tugas pekerjaan mereka, atau membiayai kepentingan negara dan kepentingan umum lainnya. Bentuk korupsi adalah dengan jalan menambah jumlah rekening penagihan yang semestinya, penipuan, pemalsuan atau memanfaatkan kelengahan orang lain. Khalifah Umar bin Khattab senantiasa melakukan audit secara berkala. Saat mengangkat wali atau ‘amil, beliau selalu menghitung dan mencatat kekayaanya sebelum menjabat dan mengulanginya lagi setelah selesai. Jika khalifah meragukan kekayaan pejabatnya, beliau tak segan-segan menyitanya, seperti yang dilakukan terhadap Abu Sufyan.

Harta hasil korupsi adalah harta haram yang tak boleh dimiliki dan wajib diserahkan ke Baitul Maal. Pelakunya akan dikenakan ta’zir yaitu dimasukkan ke dalam penjara yang lamanya tergantung keputusan khalifah atau qadhi (hakim).

Selain ketaatan individu, keteladanan dan sikap tegas pemimpin dalam menerapkan aturan dan sanksi tegas kepada pelaku korupsi adalah kunci keberhasilan pemberantasan tindak korupsi. Jika menginginkan tikus-tikus berdasi tak dapat lagi beraksi, maka diperlukan solusi pasti dan hakiki. Tentu saja solusi ini hanya ada dalan sistem yang bersumber dari Ilahi.

Wallahua’lam.

 

[lnr/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis