Memimpikan Haji Tanpa Harus ke Luar Negeri

Oleh: Ria Asmara

 

Lensa Media News – Pembatalan ibadah haji 2021 yang diumumkan Kemenag pada 3 Juni lalu menyisakan duka mendalam bagi sebagian besar calon jemaah haji Indonesia. Pasalnya, pembatalan ini sudah kali kedua sejak virus corona mengunjungi negeri ini. Pembatalan ini tentu akan memperpanjang periode antrean seluruh masyarakat yang telah mendaftar haji.

Dilansir dari Kompas.com, 3 Juni 2021, berdasarkan data resmi dari Kementerian Agama, antrean tercepat keberangkatan calon jemaah di tingkat kabupaten dan kota adalah tahun 2029. Sedangkan yang terlama adalah tahun 2065.

Data di atas menjelaskan bahwa antrean tercepat calon jemaah haji Indonesia adalah 8 tahun dan antrean terlama adalah 44 tahun. Tentu ini bukan penantian yang mudah. Butuh kesabaran dan kepasrahan.

Melihat fenomena semakin panjangnya antrean akibat dari penundaan keberangkatan haji dua tahun terakhir ini, maka sangat bisa dimengerti jika kemudian banyak pihak yang berduka. Terlebih calon jemaah haji yang sudah berusia lanjut, yang kondisi fisiknya semakin hari semakin lemah.

Terlepas dari polemik yang terjadi terkait dengan pembatalan haji tahun ini, ada sisi lain yang layak kita soroti. Saat ini, Ibadah haji dijalankan baru hanya sebatas rutinitas ritual saja. Padahal seharusnya, ada banyak manfaat yang bisa direguk sebagaimana yang Allah perintahkan.

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka mendapatkan berbagai manfaat bagi mereka …. “. (Qs. Al-Hajj: 27-28)

Meski baru sekadar rutinitas ritual saja, pergi berhaji ini sangat menjadi impian umat Islam sedunia. Semuanya berlomba-lomba untuk menjalankan rukun Islam yang ke lima ini. Segala upaya dikerahkan untuk sampai ke tanah suci. Bisa kita bayangkan jika ibadah haji ini dipahami juga sebagai momen bersatunya seluruh kaum muslim dari berbagai penjuru dunia. Tentu ibadah haji ini menjadi lebih bermakna lagi.

Seluruh kaum muslim yang berhaji, bisa berkonsolidasi. Mereka masing-masing bisa membawa (menyampaikan) permasalahan yang terjadi di negerinya. Sehingga permasalahan kaum muslim sedunia bisa didiskusikan bersama. Dicari solusinya. Karena sesungguhnya kaum muslim itu satu tubuh. Jika ada masalah yang menimpa kaum muslim di salah satu negeri. Maka itu menjadi derita kaum muslim di seluruh penjuru dunia.

Jika ibadah haji dijalankan tidak sebatas ritual saja, tetapi juga sebagai momen persatuan dan konsolidasi kaum muslim dari berbagai penjuru negeri, mungkin kita tidak akan lagi mendengar jeritan muslim di Palestina. Juga tangisan muslim Rohingya di Myanmar, rintihan muslim Uighur di Xianjiang, teriakan muslim Kahsmir di India, dan derita muslim-muslim yang lain yang mengalami keadaan serupa. Karena, permasalahan mereka dibicarakan bersama, dicarikan solusi bersama.

Namun, momen seperti ini sangat sulit diraih saat ini. Sejak kekhilafahan runtuh tahun 1924. Kaum muslim tidak lagi memiliki sosok pemimpin. Pemimpin yang bisa menyatukan seluruh kaum muslim. Pemimpin yang bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.

Semoga momen indah ini segera terwujud, dimana ibadah haji tidak hanya sekadar melaksanakan rutinitas ritual saja, tetapi lebih dari itu. Momen dimana pengaturan ibadah haji diurus begitu rapi sehingga antrian yang panjang bisa diantisipasi. Dan pergi haji bukan lagi perjalanan ke luar negeri, karena Arab Saudi dan negeri-negeri muslim yang lain sudah disatukan dalam satu panji. Disatukan dalam satu kepemimpinan. Disatukan dalam satu wilayah kekhilafahan.

Wallahu a’lam bishawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis