“Work from Bali” untuk Siapa?
Oleh Ita Mumtaz
Lensa Media News – Gagasan Work from Bali menjadi agenda yang dipertimbangkan oleh istana. Program ini digadang-gadang mampu memajukan pemulihan pariwisata dan memicu pergerakan roda ekonomi rakyat. Ada tujuh kementrian dan lembaga di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi akan ikut merealisasikannya. Para pejabat dan staf di lembaga-lembaga tersebut akan hadir dan bekerja dari Bali. Kemenparekraf/Baparekraf sendiri telah melaksanakan kegiatan work from Bali sejak kuartal pertama 2021.
Ada Apa dengan Bali dan Mengapa Harus di Bali?
Sebab katanya sektor pariwisata di Pulau Dewata saat ini sedang berada dalam kondisi kritis dan butuh pertolongan. Berdasarkan data terakhir BPS terkait perkembangan pariwisata Provinsi Bali pada Februari 2021, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) pada Februari 2021 untuk hotel bintang hanya sebesar 8,99 persen atau -2,16 poin secara bulanan dan hotel non bintang 7,70 persen atau tumbuh 1,00 poin secara bulanan (Liputan6.com, 28/05/2021).
Demikian program Work from Bali akhirnya diluncurkan demi mendongkrak angka pendapatan hotel berbintang yang notabene milik pengusaha besar. Sebuah solusi yang tidak mendasar, bahkan memicu masalah baru.
Bagi para ASN kementerian yang datang berlibur ke Bali dengan dalih bekerja, pasti semua itu membutuhkan anggaran lebih besar dari biasanya. Lalu. sumbernya dari mana? Tentu saja dari APBN. Sehingga, beban berat APBN akan bertambah-tambah hanya untuk sesuatu yang kosong dari manfaat, apalagi jika dilihat dari pertimbangan kemaslahatan rakyat.
Walhasil bisa kita simpulkan, bahwa jargon penyelamatan ekonomi rakyat hanyalah isapan jempol. Semua itu tak lebih hanyalah akal-akalan pejabat untuk kepentingan pengusaha dan pemilik modal. Dengan mudahnya dana dikeluarkan jika untuk keberlangsungan praktik oligarki. Sebaliknya, bila untuk kepentingan rakyat akan ada beribu pertimbangan dan persyaratan yang berbelit.
Sistem kapitalisme memang tidak bisa dipisahkan dari oligarki. Karena sistem inilah yang membuka peluang bagi oligarki untuk tumbuh subur. Kapitalisme adalah produk akal manusia yang sarat dengan kepentingan penggagasnya. Sesuai namanya, sistem ini bertumpu pada perolehan materi sebanyak-banyaknya demi kepentingan para pemilik kapital. Jadi mereka adalah gerombolan orang-orang rakus yang mengendalikan pemerintahan.
Jadi sebenarnya kekuasaan negeri ini berpusat pada segelintir orang-orang kaya. Tentu saja semua kebijakan yang diambil akan disesuaikan dengan kepentingan mereka sendiri, karena sudah terpapar manifestasi pemerintahan yang buruk. Penguasanya bersifat elitis dan eksklusif, tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Rakyat yang seharusnya dilayani sepenuh hati malah dipertimbangkan sebagai untung rugi. Seringkali rakyat diminta membayar untuk sebuah pelayanan umum. Pajak pun dinaikkan dan diperluas demi mengeruk keuntungan.
Keuntungan negara yang berlimpah digunakan untuk membayar pengusaha, termasuk pebisnis pariwisata dan perhotelan di Bali, yang diambil dari uang rakyat. Maka tak heran jika para pengusaha dengan mudahnya sering mendapatkan kucuran dana dengan dalih memulihkan roda ekonomi. Padahal, sejatinya adalah menjaga kepentingan mereka. Karena antara penguasa dan pengusaha terjadi simbiosis mutualisme. Penguasa membutuhkan dana besar dan legitimasi untuk melanggengkan kekuasaannya, sedangkan pengusaha butuh aturan pemerintah yang memuluskan dan melindungi bisnis gurita mereka. Rakyat pun menjadi korban atas permainan dalam sistem demokrasi oligarki ini.
Padahal, sebenarnya masih banyak upaya peningkatan ekonomi yang tidak merugikan rakyat selain pariwisata Bali. Misalnya, sektor pertanian yang sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah. Saat ini petani benar-benar dalam posisi sulit karena minimnya subsidi dan gempuran impor beras, yang lagi-lagi karena ulah pengusaha import yang rakus. Sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat pun hasilnya berlimpah, bahkan lebih dari cukup untuk kemakmuran rakyat. Namun, lagi-lagi semua diobral kepada swasta bahkan asing dengan alasan investasi.
Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat sekaligus mulia. Bagaimana tidak? Seluruh rakyat tanpa kecuali wajib dilindungi dan dipastikan terpenuhinya kebutuhan pokoknya. Jika tidak, maka penguasa harus berusaha menyediakan lahan dan lapangan pekerjaan agar rakyat memiliki akses mudah untuk mencari nafkah keluarga. Sehingga 24 jam pemimpin akan senantiasa memikirkan rakyatnya. Mereka tak sempat dan tidak mau memikirkan kekayaan diri dan golongan, karena sungguh pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat.
Sebagaimana pesan Rasulullah:
“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka.” (HR. Abu Dawud). Wallahu a’lam bish-shawwab. [LM/Mi]