Jabatan Bergengsi Tak Lagi untuk yang Berprestasi
Oleh: Silvia Anggraeni, S. Pd.
Lensa Media News – Publik kembali dibuat tercengang dengan pengangkatan seorang personel grup band tanah air menjadi komisaris sebuah perusahaan pelat merah. Tak hanya dinilai kurang pas karena dianggap minim pengetahuan, santer terdengar bahwa pengangkatan ini terkait balas budi setelah pesohor tersebut aktif menjadi pengusung rezim kala pemilu lalu. Dan isu balas budi kian nyata terbukti setelah sejumlah nama yang pernah mendukung pencalonan Presiden Jokowi maupun wakilnya dalam pilpres sebelumnya mendapatkan kursi komisaris di perusahaan pelat merah.
Dikutip dari CNN Indonesia, 29/05/2021, pengangkatan itu dilakukan melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang juga sempat menjabat sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019 lalu.
Tindakan bagi-bagi ini memang hal yang lumrah dalam aturan main demokrasi, maka siapa yang berjasa dalam meraih kuasa ia akan menuai budi berupa kursi. Karena jabatan memang tujuan akhir dari perjalanan demokrasi. Hingga saling sokong dalam meraih kemenangan dalam pemilu menjadi alasan utama jabatan bergengsi dibagi bak roti. Yang seharusnya diurus demi kepentingan rakyat, kini diamanahi pada yang mau merapat.
Sungguh ini sebuah bentuk penghianatan pada rakyat. Sebagai sumber kekuasaan yang semestinya diutamakan, justru disampingkan demi kepentingan segelintir orang. Dan yang paling menyakitkan hal ini dijadikan pembiasaan. Maka tak mengherankan jika kesejahteraan hanya ada di lingkaran penguasa negeri, sementara rakyat gigit jari.
Rakyat sudah sangat paham dengan kerusakan demokrasi. Dan jelas rakyat butuh solusi. Ialah Khilafah, jalan keluar dari segala masalah yang ada hari ini. Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam mempunyai ciri khas yang melekat padanya. Yaitu tujuan kepemimpinan adalah untuk mengayomi rakyat dalan rangka melaksanakan tugas dari Sang Pencipta. Berangkat dari sini-lah seorang Khalifah akan selalu terikat pada Allah Ta’ala dalam setiap melaksanakan tugasnya, karena kekuasaan adalah bentuk amanah yang akan ia pertanggung jawabkan kepada Allah.
Seperti pesan Rasulullah, “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin” (HR. Muslim).
Dari sini kita pahami bahwa dalam Islam kekuasaan adalah sebuah amanah besar yang tak bisa diampu oleh sembarang orang, apalagi orang yang jelas tak mampu. Jabatan bukan sebuah kebanggaan tapi sebuah beban yang akan menuntut pertanggungjawaban.
Jelaslah perbedaan antara demokrasi dan khilafah. Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam menjadikan kekusaan sebagai jalan untuk melaksanakan perintah Allah. Pengangkatan seorang khalifah harus benar-benar memenuhi kriteria yang telah ditentukan agar mampu melaksanakan beban tugas yang ada. Selain itu sifat kepemimpinannya independen tidak bergantung pada pihak lain yang mengharuskan ia melakukan balas budi. Maka takkan ditemui dalam sistem khilafah seorang pemimpin yang tak mampu mengurus rakyatnya. Karena jabatan yang ada akan selalu diberikan pada orang yang tepat dan benar-benar mampu. Kerusakan yang terjadi dalam demokrasi hanya akan teratasi jika Islam dijadikan solusi.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanah disia-siakan?’ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR. Al-Bukhari).
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]