Jabatan adalah Amanah, Jangan Gegabah
Oleh: Yuke Octavianty, SP.
(Pegiat Literasi Dakwah)
Lensa Media News – Era kapitalisme liberalis membuat jabatan menjadi rebutan. Saat umat butuh pemimpin yang amanah, bijaksana dan membela hak-hak rakyat, pemerintah justru memutuskan hal yang bersebrangan dengan prinsip dasar kepemimpinan. Belum lama, Menteri BUMN, Erick Thohir mengangkat Abdee Slank (Abdi Negara Nurdin) menjadi komisaris independen PT. Telkom. Dilansir dari laman kumparan.com (30/5/2021), pengangkatan musisi tersebut melalui RUPS (Rapat Umum Sidang) Tahunan Telkom, pada Jumat kemarin (28/5/2021). Tak ayal, pengangkatan ini menjadi sorotan berbagai pihak.
Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN menyatakan bahwa pengangkatan tersebut di luar nalar (kumparan.com, 30/5/2021). Pun demikian dengan pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Beliau menyatakan bahwa pengangkatan musisi Abdee Slank sebagai Komisaris PT. Telkom, tak lebih dari bagi-bagi “kue” politik. Dia juga melanjutkan bahwa praktik bagi-bagi kue tersebut harus dihentikan karena memberikan pembelajaran tak baik untuk masyarakat saat pemilihan presiden berikutnya. Masyarakat akan berbondong-bondong mendirikan relawan hanya untuk mendapatkan jabatan (kompas.com, 29/5/2021). Sebagaimana yang kita tahu bahwa Abdee Slank adalah penggagas salam dua jari saat kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin tahun 2019 lalu. Komisaris seharusnya dipilih dengan tujuan meningkatkan kinerja perusahaan agar dapat mencapai target-target yang telah ditetapkan, bukan sebagai balas budi atas dukungan saat kampanye.
Tradisi demokrasi dalam sistem kapitalisme liberalis sungguh rusak. Sistem kapitalisme yang berpondasikan materi, menjadikan manusia serakah. Apapun jalannya, dilewati demi jabatan. Tradisi bagi-bagi “kue” adalah salah satu tradisi dalam demokrasi. Maka tidak heran bila jabatan diserahkan kepada pihak yang tak memiliki kompetensi. Padahal, jabatan adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir kelak. Dalam riwayat sahih telah dijelaskan:
عن أبي ذرٍ رضي الله عنه، قال: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَىَ مَنْكِبِي. ثُمّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرَ إنّكَ ضَعِيفٌ وَإنّهَا أَمَانَةٌ، وَإنّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقّهَا وَأَدّى الّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW. pun bersabda:
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanah disia-siakan?’ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Al-Bukhari).
Lantas, apa jadinya bila sebuah negeri terus bersandar pada sistem cacat? Bukankah kehancuran itu telah tampak di hadapan? Syariat Islam harus segera diperjuangkan untuk menghantam segala kerusakan sistem cacat yang kini melanda umat.
Wallahua’lambishawwab.
[lnr/LM]