Kebijakan Plin-Plan Penguasa, Mematikan Kepercayaan Ummat

Oleh: Reski Prastika, Amd., BA., SH.
(Aktivis Dakwah)

 

Lensa Media News – Lebaran tahun ini tidak jauh berbeda dengan lebaran tahun kemarin. Penanganan penyebaran virus Covid-19 masih terus digalangkan pemerintah. Bahkan untuk mencegah cluster penyebaran virus pada hari raya lebaran, pemerintah melakukan kebijakan larangan mudik serta larangan sholat Idul Fitri di beberapa mesjid besar dan lapangan terbuka.

Begitupun dengan pengawasan warga yang sempat melakukan mudik lebaran, sekembalinya ke ibu kota diwajibkan melakukan tes swab demi mencegah penyebaran virus. Bahkan banyak tersebar poster-poster menolak kembalinya pemudik tanpa surat keterangan bebas Covid-19. Hal tersebut kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang tetap membuka akses tempat-tempat wisata.

Kunjungan wisatawan ke pantai Ancol pada hari kedua lebaran mencapai 39 ribu orang. Begitupun di Taman Mini Indonesia Indah juga mengalami kepadatan. Keadaan yang sama juga terjadi di Kebun Binatang Ragunan. Hal serupa juga tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat wisata di kota-kota besar lainnya, pengunjung pun membludak. Membludaknya kunjungan wisatawan tentu wajar terjadi sebab warga dilarang mudik sementara akses ke lokasi wisata tetap dibuka.

Semestinya Pemerintah sudah memprediksi membludaknya pengunjung akibat dibukanya tempat wisata sehingga mengambil kebijakan menutup akses wisata sedari awal sebagaimana pemerintah mengambil kebijakan larangan mudik lebaran dengan alasan mencegah penyebaran virus Covid-19.

Dengan tarik ulur kebijakan seperti ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius menangani pandemi Covid-19. Wajar apabila ada sebagian masyarakat yang tetap nekat mudik dengan mengelabui petugas sebab sejak awal pemerintah tidak serius dan tidak membuat langkah yang sistematis dalam pencegahan dan penanganan penyebaran virus Covid-19 ini. Justru pemerintah saling kritik kebijakan dan tidak menampakkan kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

Dengan sikap pemerintah yang tidak becus dalam mengambil kebijakan membuat masyarakat kehilangan rasa percaya dan kepatuhan terhadap pemerintah. Kebijakan larangan mudik tetapi membuka akses wisata tentu membuat masyarakat muslim pada umumnya merasa bahwa pemerintah sepihak dan berat sebelah. Justru hal tersebut membuat perpecahan antara aparat dengan masyarakat yang memang sedari awal sudah tidak respek dengan pihak kepolisian. Kebijakan tersebut hanya dijadikan kedok saja agar nampak bahwa pemerintah serius menangani Covid-19 dan masyarakat yang tidak patuh aturan akan dijadikan kambing hitam atas meningkatnya penyebaran virus corona.

Pada kenyataannya sejak awal pemerintah memang tidak serius dan tidak ada kerja sama dari sesama instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Masing-masing punya kebijakan sendiri kemudian saling sindir dan saling kritik yang pada akhirnya mencari kambing hitam kemudian mencuci tangan dan membuat opini seolah telah berupaya maksimal dan menyalahkan rakyat atas ketidakpatuhannya.

Masyarakat bukannya tidak menginginkan pandemi ini segera berakhir dan kehidupan kembali normal. Akan tetapi kebijakan plin-plan pemerintah membuat masyarakat bingung dan justru akibat kebijakan buka tutup ini rakyat dirugikan secara ekonomi dan kesehatan.

Demo penolakan penutupan lokasi wisata di pantai Carita misalnya. Alasannya karena pemerintah sendiri yang membuka lokasi wisata tersebut sehingga membuat pengelola dan pengusaha di tempat wisata pasang badan untuk memulai lagi usahanya meski dengan modal pinjaman.

Kebijakan yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya menimbang pemasukan pemerintah dari PAD dan kepentingan usaha pariwisata.

Inilah dampak dari standarisasi atas segala sesuatu hanya berdasarkan materi saja. Amanah kekuasaan hanya dijadikan ajang untuk pencitraan dan menambah pundi-pundi harta semata. Kebijakan dan kinerja pemangku amanah rakyat hanya berpihak pada yang berkepentingan. Amanah meriayah ummat tidak dibebankan kepada mereka yang kompeten tetapi kepada dia yang mendukung dan mengucurkan dana dalam kampanye perebutan kekukasaan.
Hal ini tentu sangat berbeda jauh dengan konsep ideologi Islam dalam meriayah ummat. Dalam Islam diajarkan untuk menyelesaikan masalah harus diserahkan kepada ahlinya, orang yang kompeten dibidangnya. Pengambilan kebijakan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi semata tetapi yang terpenting adalah kemaslahatan ummat.

Pemimpin dalam Islam adalah orang-orang yang mempuni dan punya kemampuan secara fisik, psikis, mental, dan pengetahuan. Bukan pemimpin hasil pencitraan yang dipoles hebat oleh media akan tetapi tidak punya kemampuan untuk meriayah ummat. Pemimpin dan pemangku kebijakan harus sadar betul bahwa langkah-langkah dan keputusan yang diambilnya akan berdampak pada masyarakat umum. Selain itu ia juga harus menyakini kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Pemimpin seperti itu hanya akan lahir dari penerapan ideologi Islam dalam setiap aspek kehidupan.

[ra/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis