Inkonsistensi Kebijakan Mudik

Oleh : Atsila Mutia

 

Lensa Media News – Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1442 H, pemerintah Resmi membuat aturan larangan mudik tahun ini. Pelarangan ini berlaku dari 6-17 Mei 2021. Adapun kebijakan ini dibuat untuk meminimalisir penyebaran Covid-19. Kebijakan yang dibuat pemerintah ini faktanya sangat tidak sejalan dari apa yang telah diwacanakan. Dikutip dari TRIBUN-MEDAN com, 5 Mei 2021, Menjelang larangan mudik Lebaran Idul Fitri 1442 H yang berlaku pada 6-17 Mei 2021, jumlah penumpang di Bandara Kualanamu Deli Serdang, Sumatera Utara, mengalami lonjakan.

Berdasarkan data penerbangan yang ada tiga hari sebelum masa larangan mudik jumlah penumpang terus meningkat. Ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, di saat pemerintahan membuat kebijakan larangan mudik guna untuk memutus mata rantai Covid-19, tapi mengapa justru terjadi lonjakan penumpang di Bandara-Bandara, termasuk Kualanamu? Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tak konsisten dalam membuat kebijakan serta tak serius dalam menangani pandemi di negeri ini.

Ini bukan pertama kalinya pemerintah membuat kebijakan, yang dilanggar oleh dirinya sendiri seperti contohnya kasus kerumunan Pilkada beberapa waktu lalu yang menyisakan korban covid. Sehingga terlihat bahwa pemerintah tidak memperhatikan keselamatan rakyatnya sendiri.

Kasus Pandemi ini sudah setahun lebih lamanya, namun tak ada tanda-tanda menunjukkan bahwa pandemi ini akan berakhir. Janji-janji manis yang terus dilontarkan oleh penguasa bahwa akan berakhirnya wabah ini hanya akan menjadi pepesan kosong yang tak menuaikan hasil yang signifikan karena kebijakan yang dibuat hanya berpihak pada para kapitalis.

Terlihat dengan adanya larangan mudik namun dibarengi juga dengan pembukaan tempat pariwisata dengan alasan meningkatkan kinerja ekonomi negara. Pakar Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Wibisono Hardjopranoto menilai, kebijakan tersebut bertabrakan. “Kok menurut saya kebijakannya bertabrakan ya. Artinya yang satu dibebaskan (wisata), yang satu dikekang (mudik),” kata Wibisono (detikcom, 7/5/2021) Meskipun.Menurut Wibisono, seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang beriringan. Bukan berlawanan seperti saat ini. Apabila tujuannya untuk mengendalikan penyebaran COVID-19, maka pemerintah harus tegas, membatasi mobilitas warga. Namun bila pemerintah ingin meningkatkan kinerja ekonomi, maka mudik dan wisata harus diperbolehkan semua. Pasalnya, baik pembukaan tempat wisata dan mudik, sama-sama menggerakkan roda perekonomian.

Beginilah ketidak konsistenan penguasa di dalam sistem kapitalisme, dalam mengeluarkan kebijakan selalu menjadikan standart dengan melihat untung rugi, bukan keselamatan jiwa rakyatnya. Karena dengan dibukanya wisata meskipun di daerah lokalnya saja, tetap akan memunculkan peluang penyebaran virus melalui kerumunan yang ada.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir penyebaran virus covid-19 bahkan mampu tertuntaskan dengan baik bukan dengan melakukan pelarangan mudik namun dengan melakukan _lokcdown_ sedari awal di wilayah yang terpapar covid-19 dengan memberikan jaminan kebutuhan mereka serta memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik.

Sehingga kondisi ini tidak akan mengganggu perputaran roda Ekonomi negara, karena wilayah yang zonanya hijau (tidak terpapar) akan terus hidup dalam menjalankan perkenomiannya dan dapat membantu wilayah yang terpapar COVID-19. Semua mekanisme ini akan mampu terjalankan dengan baik dan optimal jika diatur melalui sistem Islam. Karena Islam adalah sistem yang paripurna lahir dari Rabb semesta alam. Wallahu a’lam Bishawab. [LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis