Ngawur, Perempuan Haid Boleh Puasa ?

Oleh: Nurhikmah
(Tim Pena Ideologis Maros)

 

Lensa Media News – Belum lama ini, sosial media kembali dihebohkan dengan unggahan seorang kiai yang menyebutkan bahwa seorang wanita haid boleh berpuasa. Unggahan tersebut dimuat dalam akun instagram @mubadalah.id. dan telah dilihat sebanyak 11,6 ribu kali. Alasan kiai yang berinisial IM tersebut menuliskan hal ini, sebab menurutnya di dalam Al-Quran tidak disebutkan larangan seorang wanita haid untuk berpuasa. Ia bahkan berlogika bahwa keadaan tidak suci hanya menghalangi seseorang mengerjakan sesuatu yang mengharuskan untuk bersuci semisal solat, tetapi tidak demikian untuk puasa.

Hal ini sebagaimana yang dikutip dari DetikNews.com (03/05/2021), dalam postingan tersebut dijelaskan bahwa: “Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang haid hanya menegaskan dua hal. Yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci. Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti salat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.”

Akibat menuai kontroversi di berbagai kalangan, akhirnya unggahan tersebut dihapus. Salah satu yang turut berkomentar atas perihal ini adalah Pengurus Besar Nahdatul Ulama yang dikutip dari DetikNews.com (02/05/2021), Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menegaskan perempuan dilarang melaksanakan puasa Ramadan saat datang bulan atau haid. Ketentuan tersebut telah dijelaskan dalam hadits Nabi dan ijma, atau konsensus ulama seluruh dunia.

 

Demokrasi Meleluasakan Pelecehan Agama

Alasan dibalik unggahan ini bahwa larangan berpuasa bagi wanita haid tidak disebutkan dalam Al-Quran adalah hal yang sangat ngawur. Karena, pada dasarnya sumber hukum dalam Islam bukan hanya terdapat di dalam Al-Quran tetapi juga terdapat dalam Hadits Rasulullah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Sehingga, dalam hal menetapkan suatu hukum tak cukup hanya merujuk pada Al-Quran tetapi juga kepada ketiga sumber hukum tersebut.

Selain itu, menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan sebatas menggunakan kemampuan akal atau logika adalah hal yang dapat mengantarkan pada kesesatan. Sebab, Al-Quran tak dapat ditafsirkan hanya dengan menggunakan logika tetapi memerlukan pengkajian yang mendalam terhadap dalil-dalil sahih.

Kebebasan berpendapat memang telah menjadi ciri khas dari demokrasi. Demokrasi menjamin kebebasan bagi seseorang dalam berpendapat hingga bertingkah laku, hingga halal-haram pun tidak menjadi tolak ukur. Akibatnya, berbagai pendapat yang justru bertentangan syariat Islam dapat lolos begitu saja tanpa dikenai sanksi tegas dari negara.

Para pelaku pelecehan khususnya terhadap syariat Islam bahkan dengan mudah mengulang kembali aksinya dalam polesan yang berbeda. Sebab, setiap pasal hukum sebagai hasil kesepakatan beberapa orang tersebut memang tidak mampu melahirkan hukum yang bersifat menjerakan.

 

Islam Menuntaskan Pelecehan Agama

Dalam Islam, hukum berpuasa bagi seorang wanita yang sedang haid telah sangat jelas keharamannya. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Saw. yang diceritakan oleh Aisyah r.a bahwa: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada salat” (HR Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan pula bahwa: “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Ya” (HR Bukhari). Sehingga, sangat jelas bahwa seorang wanita yang haid tidak dibolehkan untuk berpuasa.

Oleh sebab itu, pendapat yang menyatakan bahwa seorang wanita haid boleh berpuasa tentu telah bertentangan dari syariat Islam dan secara langsung telah melecehkan agama Islam itu sendiri.

Dalam sistem Islam, para pelaku pelecehan agama akan diberikan sanksi yang tegas. Sanksi tsrsebut berupa ta’zir atau kadar hukumannya ditentukan oleh khalifah yang disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang diperbuatnya.
Adapun hukuman ta’zir tersebut yaitu berupa: hukuman mati, cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali, penjara, pengasingan, pemboikotan, salib, ganti rugi (ghuramah), penyitaan harta, mengubah bentuk barang, ancaman yang nyata, nasihat dan peringatan, pencabutan sebagian hak kekayaan, pencelaan, atau pewartaan.

Hukum Islam tersebut akan bersifat zawajir (pencegah) yaitu mencegah agar perbuatan yang serupa tidak terjadi kembali dan jawabir (penebus) yaitu sebagai penebus dosa yang kelak tidak lagi mendapat hukumannya di akhirat. Hukuman tegas seperti ini tidak akan dapat diterapkan kecuali jika seluruh syariah Islam dijadikan sebagai sistem kehidupan yang tercermin lingkup daulah khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis