KTP-el untuk Kaum Transgender, Solusi Keblinger?
Zidan Arif Fakrulloh Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatakan, dari pihak Kemendagri akan membantu para transgender untuk mendapatkan KTP Elektronik (KTP-el), akta kelahiran dan kartu keluarga (KK). Dengan catatan pada kolom KTP-el tidak akan ada pilihan jenis kelamin “Transgender”, akan tetapi hanya ada dua pilihan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Jika dia laki-laki akan tetap di catat sebagai laki-laki, begitupun sebaliknya jika perempuan tetap di catat sebagai perempuan. Sesuai dengan jenis kelamin aslinya, kecuali dari pihak pengadilan sudah ditetapkan adanya perubahan jenis kelamin bagi mereka (Kompas.com, 25/04/2021).
Adapun nama yang tercantum di dalam KTP-el adalah nama asli bukan nama samaran atau panggilan. Jika ingin mengganti nama serta jenis kelamin maka harus ada keputusan dari pengadilan negeri. Terkait permasalahan ini pihak Kemendagri pro aktif untuk membantu para transgender dalam pembuatan KTP-el karena mengacu pada perundang-undangan negara bahwasanya setiap WNI wajib didata dan harus memiliki KTP serta kartu keluarga, karena dengan adanya identitas diri maka akan mudah mendapatkan pelayanan publik.
Terkait hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah memang terkesan melindungi masyarakat, dari terputusnya jalan mendapatkan hak-hak mereka. Seperti seolah tak punya daya permasalahan LGBT hingga saat ini masih saja menjadi problematika di negeri ini dan belum bisa dituntaskan sampai ke akarnya. Bahkan negara yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam menerapkan peraturan bagi masyarakat tak mampu mengembalikan kelompok LGBT pada kodratnya. Malah memberikan kebebasan dengan alih-alih hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan demikian, selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalis-liberal dalam mengatur segala persoalan termasuk bernegara dan bermasyarakat maka permasalahan LGBT tidak akan pernah selesai dengan penyelesaian yang keblinger, tetapi hanya akan meresahkan masyarakat. Titik persoalan dari penyimpangan perilaku ini adalah tidak adanya penerapan hukum Islam. Karena di dalam sistem Islam negara menjadi penjaga moralitas serta aturan yang ada dalam Islam menjadikan pijakan yang harus diemban oleh semua pihak, baik individu, masyarakat, ataupun negara.
Siti Sarah
Bogor
[faz/LM]