Ironi Negeri Maritim
Pasca insiden tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 di perairan Bali, pemerintah Indonesia banjir kritik. Alat Utama Sistem Senjata (ALUTSISTA) nasional pun menjadi sorotan. Sejumlah pihak menilai bahwa kualitas kapal selam Indonesia memang sangat berpotensi mengancam keselamatan para pasukan. Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menyebut alutsista TNI yang sudah tua. KRI Nanggala 402 misalnya, kapal selam itu telah berusia lebih dari empat dekade, sehingga dinilai tak layak pakai namun tetap dipaksakan (Mata-matapolitik.com 27/04).
Pemerintah disarankan untuk segera mengevaluasi sistem anggaran pertahanan nasional, terutama terkait dengan ketimpangan anggaran antar matra. Ekonom Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mencatat adanya ketimpangan anggaran terkait dengan pertahanan nasional di antara tiga matra yaitu TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Tercatat bahwa pada APBN 2020 TNI AD dengan alokasi alutsista sebesar Rp4,5 miliar. Sementara, TNI AL alokasi alutsista Rp4,1 miliar dan TNI AU alokasi alutsista Rp2,1 miliar (Bisnis.com 26/04).
Sebenarnya, persoalan anggaran untuk memperkuat armada laut tidak akan menjadi masalah yang rumit. Jika pemerintah fokus memperhatikan kebutuhan militer dengan pengadaan alutsista baru. Seyogianya, anggaran pertahanan yang ada tidak dihabiskan untuk hal yang tak mendesak. Terlebih Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentu jika dikelola dengan benar maka besarnya anggaran untuk menciptakan pertahanan maritim yang kokoh tak jadi soal.
Sayangnya, aturan kapitalisme telah membuat sumber daya alam kita bebas diperjualbelikan oleh segelintir kaum berduit. Sehingga, potensi besar yang dimiliki terabaikan. Miris, negeri kaya namun hanya mampu membeli alutsista bekas. Saatnya mewujudkan negara yang mandiri dalam mengelola kekayaan alam. Negara yang mampu berdikari bebas dari rongrongan kebijakan politik asing. Hal itu, hanya akan bisa terwujud melalui aturan yang bersumber dari Sang Pencipta bukan berasal dari hawa nafsu manusia.
Wallahu a’lam bisshowwab.
Ummu Alif
(Kendari, Sulawesi Tenggara)
[faz/LM]