Menghitung Amal (Bagian 1)
Oleh: Anita Rachman
(Muslimah Peduli Peradaban)
Tsaqafah – Berapa banyakkah amal kita? Mampukah kita menghitungnya? Amal siapakah yang paling banyak? Apakah yang hafalannya terbanyak? Lantas bagaimana jika sudah berikhtiar menghafal, namun mengalami kesulitan? Ataukah yang sedekahnya paling besar? Lantas bagaimana dengan orang yang tidak memiliki keluasan rezeki?
Atau yang salatnya paling khusyuk? Atau yang memelihara jenggot, bercelana cingkrang, atau bercadar? Atau mereka yang menghabiskan hidupnya untuk beribadah dan tak tertarik pada dunia? Apakah kemudian amal yang banyak atau sedikit tadi sudah pasti diterima Allah SWT?
Begitulah jika standar penilaian diserahkan kepada manusia. Sangat mungkin muncul perbedaaan, perselisihan, bahkan pertentangan. Karena didasarkan pada subjektivitas individu dengan pembenaran masing-masing. Maka perlu pegangan yang kuat dan satu, agar tidak muncul multipersepsi, dan itu tidak lain adalah Al Quran dan As Sunnah.
Allah berfirman, “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…”(QS. Al Mulk: 2).
Dan juga dalam Surat Hud ayat 7, “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…”.
Ternyata penilaiannya bukan kepada siapa yang lebih banyak amalnya, tetapi siapa yang paling baik amalnya. Karena jika jumlah yang menjadi patokan, maka umat-umat terdahululah yang paling berkesempatan mengumpulkan amal terbanyak, mengingat usia mereka mencapai ratusan tahun.
Fudlail bin ‘Iyadl, salah seorang guru Imam Syafi’i dan perawi hadits, ketika menjelaskan QS. Al Mulk ayat 2 mengatakan amal yang baik adalah “yang paling ikhlas dan paling benar”. Ikhlas hanya dapat terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah SWT. Sedangkan amal yang benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi SAW.
Kemurnian niat hanya karena Allah adalah pondasi utama keikhlasan. Allah berfirman dalam QS. Az -Zumar ayat 3, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih” dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, maksudnya tidak ada amalan yang diterima kecuali bila amalan itu ikhlas semata-mata karena-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya.
Juga sebuah hadist masyhur, “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa yang niat hijrahnya karena dunia yang ingin dicapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia niatkan” (HR. Bukhari).
Masalahnya kemudian, ikhlas itu mudah diucapkan namun sulit diwujudkan. Tahu dari mana kalau kita sudah ikhlas? Apakah cukup dengan pengakuan secara lisan, “Aku ikhlas kok”? Atau adakah ciri-cirinya? Dari sini jelas bahwa ternyata penting untuk memahami makna ikhlas, agar terhindar dari amal yang sia-sia.
Apakah salat kita sama, saat sedang sendiri, maupun saat ada orang lain? Atau saat ada orang lain bacaan menjadi lebih bagus, suratnya lebih panjang, gerakkannya menjadi lebih lambat? Apakah sedekah kita sama, saat sedang ada yang melihat dengan saat tidak ada yang melihat? Atau jumlahnya menjadi lebih besar saat ada yang melihat? Maka ikhlas adalah amal yang tetap sama, dalam keadaan ramai maupun sendiri, tidak peduli ada yang melihat atau tidak, karena yakin sabda Rasulullah SAW, “Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, yakinilah bahwa Ia melihatmu.”
Ikhlas adalah tak terpengaruh penilaian orang, tidak merasa sedih saat dihina atau dicela, juga tidak menjadi berbangga diri saat dipuji. Melakukan amal bukan untuk sanjungan dan penghargaan manusia, mencari popularitas, atau motivasi lainnya, selain Allah. Contoh, berdakwahlah karena paham itu adalah kewajiban, meskipun ujiannya berat, atau kadang mengalami kegagalan. Jangan kemudian terganjal rasa ragu, takut ditolak, atau bahkan takut disebut radikal. Jangan pula pujian membuat kita semangat berdakwah namun tentangan atau penolakan membuat kita mundur teratur.
Ikhlas adalah saat kita benar-benar tunduk pada kebenaran, dalam artian tidak merasa paling benar. Tidak marah saat dikritik. Tapi justru terbuka menerima nasehat meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih sedikit ilmunya. Tidak malu mengakui dan menerima saat kita salah dan orang lain benar, dengan lapang dada. Tidak juga malu menjawab “tidak tahu” saat apa yang ditanyakan memang sesuatu yang belum dipahami atau dikuasai. Bukan asal menjawab hanya karena tidak ingin dianggap bodoh, atau ingin dinilai orang yang mengetahui segala hal.
Ikhlas adalah optimal atau bersungguh-sungguh dalam beramal, dengan memaksimalkan ikhtiar. Jika diibaratkan sedang berlari, teruslah berlari hingga kita tak sanggup lagi berdiri, bahkan sampai pingsan, maka itulah makna maksimal. Ikhlas adalah melakukan amal dengan istiqamah, terus menerus. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Dan ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit” (HR. Muslim).
Itulah diantara ciri-ciri ikhlas yang bisa kita jadikan pedoman, sudahkah amalan yang kita lakukan setiap hari memenuhi syarat atau ciri-ciri tersebut?
Kembali ke penjelasan QS. Al Mulk ayat 2, bahwa selain ikhlas, amal yang baik, juga menuntut syarat kedua, yaitu benar. Dalam artian mengikuti sunnah Rasulullah Saw. sebagaimana sabda beliau, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim). Maka tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain melalui jalan ilmu. Karena ilmu ibarat cahaya, yang akan menunjukkan mana jalan haq dan mana jalan yang sesat.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]