Islamofobia Kapan Sirna

Oleh : Kunthi Mandasari

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Lagi, pelecehan terhadap Nabi Muhammad terjadi. Kali ini guru di Inggris diduga kuat menampilkan kartun Nabi Muhammad yang dikeluarkan oleh majalah Charlie Hebdo saat mengajar. Sontak hal ini menimbulkan protes keras dari orang tua murid muslim.

Meski tanggapan sekolah positif dan bersedia memberikan teguran terhadap guru tersebut. Akan tetapi tindakan tersebut hanya mampu meredam saja bukan menutup celah terjadinya hal serupa. Mengingat kebebasan adalah bagian dari materi ajar di sekolah-sekolah Barat.

Terlebih sekularisme yang menjadi denyut kehidupan Barat justru memberi ruang bagi tumbuh suburnya kebebasan. Di mana dalam praktiknya tidak ada batasan yang jelas. Kerap kali kebebasan justru dijadikan tameng dalam melecehkan Islam.

Bahkan tak sedikit yang sengaja memprovokasi untuk menyulut kemarahan kaum muslim. Harapannya, supaya kaum muslim terjerumus pada tindak kekerasan. Dengan begitu akan semakin mudah melabeli kaum muslim sebagai radikalisme, terorisme dan lainnya. Hingga akhirnya Islamofobia kian menyebar luas, baik dari kalangan non muslim maupun kaum muslim sendiri.

Sehingga ada pembenaran apabila hendak menyingkirkan kaum muslim dari ajarannya. Baik dengan cara melemahkan akidah kaum muslim melalui berbagai kebijakan. Maupun dengan cara propaganda, penyebaran hoax hingga genosida.

Cara pandang sistem kapitalisme telah terbukti gagal dalam menyelesaikan permasalahan ini. Terlihat dari adanya pertentangan dalam menyelesaikan masalah ini. Karena tidak ada batas yang jelas terkait akidah dalam sistem kapitalisme. Berbeda dengan Islam yang menarik batas jelas terkait permasalahan akidah.

Allah Swt, berfirman dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang berarti untukmu agamamu, dan untukku agamaku.

Dalam ayat lainnya:
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah, “ Bagiku pekerjaanku dan bagi kalian pekerjaan kalian. Kalian berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Yunus: 41)

Kemudian pada firman Allah Swt.:
Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.” (QS. al-Baqarah: 139)

Beberapa ayat di atas menjadi penegas bahwa dalam perkara akidah tidak boleh dicampuradukan. Islam pun tidak pernah memaksa penganut ajaran lain untuk masuk ke dalam Islam (lihat surah Al-Baqarah ayat 256). Meski begitu ada sejumlah aturan yang diberlakukan negara Islam (khilafah) agar keberagaman agama tidak mengganggu agama yang lain.

Orang-orang dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin dibebaskan dalam perkara yang menyangkut keyakinan dan peribadatan. Begitu pula dalam urusan pernikahan dan perceraian, mereka melakukan sesuai kepercayaan mereka. Bahkan khalifah akan mengangkat qadhi dari kalangan mereka untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

Adapun dalam masalah makanan, minuman, dan pakaian, mereka diberlakukan sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum. Artinya, sepanjang yang diperbolehkan oleh syariat Islam. Boleh mengkonsumsi babi maupun minum khamr selama dalam lingkup kelompok mereka dan tidak dijual maupun dikonsumsi secara bebas. Karena syariat Islam jelas melarang perbuatan ini.

Sedangkan dalam perkara muamalah dan uqubat, aturan yang diterapkan sama dengan aturan kaum muslim, yaitu syariat Islam. Dalam pelaksanaannya tidak ada perbedaan maupun diskriminasi di antara yang satu dengan yang lainnya. Baik dalam pendidikan, kesehatan, jaminan keamanan maupun di hadapan hukum.

Hanya saja dalam perkara administrasi akan berbeda dengan warga negara muslim. Seperti adanya kewajiban membayar jizyah yaitu semacam pajak bagi warga negara non muslim dalam wilayah pemerintahan negara Khilafah Islamiah. Jizyah ini sebagai bukti ketundukan kaum non muslim terhadap khilafah. Itu pun tidak dipaksakan apabila kondisinya tidak memungkinkan (miskin). Hal teknis semacam ini tentu masih wajar dilakukan oleh negara yang warganya beragam.

Mereka dibebani untuk berhukum dan beramal dengan syariat Islam. Pembebanan terhadap mereka hanya ditetapkan dari aspek perundang-undangan saja bukan aspek spiritual agama . Karena Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk Islam. Meski negara mereka telah ditaklukkan. Mereka akan diberlakukan secara manusiawi.

Sesungguhnya Islam sangat menjunjung toleransi antar umat beragama. Dakwah yang dilakukan kaum muslim pun tidak pernah dengan cara pemaksaan maupun kekerasan. Lebih dari tiga belas abad lamanya Islam berkuasa menjadi bukti nyata bahwa Islam mampu menyatukan perbedaan. Baik agama, suku, bangsa maupun bahasa.

Maka tidak ada solusi lain untuk mengakhiri pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan ajaran Islam kecuali dengan menerapkan kembali syariat Islam. Karena hanya Islam yang terbukti mampu mengakomodir segala perbedaan.

Wallahu’alam bishshawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis