Ilusi Pelarangan Minol Melalui Legislasi Demokrasi
Oleh: Lilieh Solihah
Muslimah Penulis Peradaban
Lensa Media News – Rancangan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol kembali digulirkan DPR. Draft RUU ini memuat aturan melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RUU itu juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras. Dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama (Kompas.com, 13/11/2020).
RUU ini memang memuat beberapa pasal larangan, tapi juga memuat pengecualian tentang konsumsi minuman beralkohol yang diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Dengan bergulirnya RUU ini beberapa pihak ada yang menyetujui ada juga yang menentang, mereka masing- masing punya argumen, pihak yang setuju dengan pelarangan minuman beralkohol sebagaimana disampaikan oleh sejumlah fraksi di DPR yang mengusulkannya, RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang timbul karena minuman beralkohol. Berdasarkan temuan kepolisian, banyak tindakan kriminal dilatarbelakangi minuman keras.
Para penentang RUU ini berargumen sebaliknya. Menurut mereka, tidak ada korelasi minuman beralkohol dengan tindak kriminal. RUU ini juga dianggap mengancam sejumlah sektor yang berhubungan dengan sejumlah kepentingan bisnis seperti industri minuman keras, pariwisata dan perhotelan.
Demokrasi yang dibangun atas asas manfaat dan menjunjung tinggi keberagaman, tentu saja akan menjadi penghalang utama pelarangan minol. Karena pada faktanya, bukan hanya RUU Minol saja yang tertunda akibat tarik ulur manfaat atau kepentingan.
Ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), revisi KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkoperasian, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, yang terpaksa ditunda pembahasannya, karena banyak kritik dan protes dari masyarakat (Kompas.com, 24/9/2019).
Kita hidup dalam sistem demokrasi, dimana agama bukan satu- satunya standar penentu kebijakan, bahkan agama cenderung terpinggirkan dalam pengaturan kehidupan. Oleh karena itu, harusnya masyarakat tidak lagi berharap pada sistem demokrasi kapitalisme, agar menghapus segala bentuk keharaman dan melindungi masyarakat dari kejahatan, namun selama sistem ini masih menjadi aturan di negeri ini, maka mustahil peredaran miras dapat dihentikan.
Dalam Islam, pengharaman khamr dan segala jenisnya adalah bagian dari kemuliaan syariah Islam yang memberikan perlindungan pada akal. Miras jelas menimbulkan kekacauan pada akal manusia. Miras bahkan mendorong berbagai tindak kejahatan selain melalaikan manusia dari mengingat Allah SWT.
Sudah saatnya kaum muslim mengambil sikap tegas. Hanya menjadikan halal dan haram sebagai standar perbuatan dan penyusunan undang-undang. Itulah sikap sejati seorang mukmin. Bukan mempertimbangkan untung-rugi materi. Karena hanya dengan menerapkan sistem Islam yang mengatur secara menyeluruh seluruh aturan kehidupan.
Wallahualam bisshawab.
[ry/LM]