Jeratan Utang Melumpuhkan Kedaulatan

Oleh : Isnawati
(Muslimah Penulis Peradaban) 

 

Lensa Media News – Utang memiliki dua sisi, bisa menguntungkan bisa juga menghancurkan, terlebih jika berbunga dan digunakan untuk keperluan yang tidak bersifat produktif. Utang tidak hanya terjadi pada perorangan, namun juga dapat terjadi pada sebuah negara termasuk Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan utang sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia. Utang bahkan sudah menjerat Indonesia sejak merdeka dari penjajahan Belanda. Ia menuturkan Indonesia memiliki warisan utang pemerintahan kolonial Belanda sebesar U$$ 1,13 miliar usai mendapat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. (CNN Indonesia, 14/08/2020).

Utang bukanlah suatu aib bagi siapapun, menjadi sebuah polemik jika berbalut dosa karena riba. Dalam kehidupan negara dengan sistem kapitalis, utang seolah tak tertolak bahkan berbangga diri. Kebutuhan untuk banyak hal disandarkan pada utang, padahal PDB kuartal II 2020, rasio utang Indonesia sudah mencapai Rp. 6.026,85 triliun. Rasio 37,3% itu, keadaan APBN digerus cicilan pokok dan bayar utang.

Aliran modal yang mengalir deras ke pasar surat utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan investor global pada pemangku kebijakan. Seperti kita ketahui utang luar negeri adalah awal kesengsaraan hidup dalam tataran individu apalagi dalam kehidupan bernegara. Yang lebih miris lagi Penguasa negeri ini meyakini bahwa utang luar negeri mampu memberikan kontribusi pada stabilitas dan pemulihan ekonomi nasional. Utang yang semakin membumbung tinggi disikapi sebagai hal yang wajar sebab sebelumnya sudah ada warisan utang dari Belanda.

Belanda ikut andil sebagai penyebab banyaknya utang luar negeri adalah fakta yang tidak bisa dielakkan, tapi menjadikan sebab utama dan sebuah dalih kewajaran dari banyaknya utang merupakan cara berkelit atau pembenaran. Sebenarnya bukan banyaknya utang yang menjadi masalah tapi cara menyikapi utang tersebut, kesalahan fatal negeri ini adalah mengadopsi sistem ekonomi kapitalis, dimana utang menjadi modal utama untuk pembiayaan pembangunan negara. Asas manfaat yang menempel pada kapitalisme akan selalu membelenggu perekonomian negeri ini. Kedaulatan perekonomian yang sudah hancur akan memberikan peluang pada asing secara leluasa untuk ikut campur urusan dalam negeri, sehingga penguasa tidak kenal lagi mana lawan mana kawan.

Dalam peradaban kapitalisme utang yang mengalir disertai komitmen tertentu, adalah wajar. Pihak pemberi utang akan mencengkeram pihak penerima utang, salah satunya melalui kebijakan perlindungan bagi pemilik modal. Dari sinilah Penguasa beralih peran menjadi korporatokrasi demi kepentingan oligarki dengan jalan menjalin hubungan gelap bersama korporasi dan birokrasi. Jalan yang menghantarkan rakyat pada kesengsaraan atas nama investasi.

Narasi rasio utang kita terhadap PDB tetap aman selalu menjadi dalih untuk menutupi compang-campingnya keuangan negara. Utang menjadi instrumen penguasa untuk menambal kekurangan anggaran yang berakibat ekonomi semakin sulit. Lemahnya rupiah dan utang yang semakin menggunung menjadi warisan bagi anak cucu di masa akan datang. Batasan aman 60% yang ditetapkan bagi perekonomian Indonesia sangatlah tidak relevan dengan kondisi hari ini, hingga “sovereighn bond” (Obligasi negara yang dapat didenominasikan dalam mata uang asing atau mata uang domestik pemerintah) di tengah pandemi dianggap suatu kehebatan yang layak dapat penghargaan sebagai pengelola perekonomian terbaik.

Cara-cara yang penuh dengan kebijakan tumpang tindih harus segera dihentikan yaitu dengan terobosan baru yang mampu mengatasi krisis. Terobosan baru yang mengantarkan pada kemerdekaan yang hakiki, yang berlandaskan iman dan takwa dalam naungan Khilafah.

Sepanjang sejarah Khilafah 1.300 tahun tidak pernah mengalami krisis yang berkepanjangan hingga menghilangkan kedaulatan. Negara Khilafah tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama. Pajak hanya dipungut pada saat-saat tertentu dan hanya pada orang yang mampu saja. Tiga pos keuangan yang menjaga Khilafah dari jeratan hutang ribawi yaitu, fai-kharaj, milkiyah amm dan zakat.

Kehidupan ideal dan harmonis hanya ada dalam Khilafah sebab aturan yang satu mendukung aturan yang lain, menyelesaikan masalah secara komprehensif dengan aturan yang dimilikinya. Menolak hukum Islam dalam naungan Khilafah artinya sedang memelihara kemiskinan dalam jeratan utang guna masuk dalam kubangan peradaban yang rendah dan direndahkan. Naudzubillah!

Dalam sebuah hadits, Nabi berpesan agar kita, sebagai umatnya senantiasa berpegang teguh kepada Alquran dan as-Sunnah agar tidak tersesat dalam kehidupan ini, beliau ﷺ bersabda:
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan as-Sunnah.”

Wallahu a’lam bis shawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis