Penghapusan UN, Solusi Masalah Pendidikan di Indonesia?

Oleh: Santi Zainuddin

 

Lensa Media News – Ujian Nasional (UN) dihapus pada tahun 2021 dan akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Ia juga mengatakan tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional atau UN ( tirto.id, 12/12/2019).

Perubahan kebijakan ujian nasional yang akan diganti dengan asesmen tersebut dilakukan berdasarkan hasil survei dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan, antara lain guru, siswa dan orang tua murid. Menurut Mendikbud, selama ini materi Ujian Nasional terlalu padat sehingga fokus siswa cenderung menghafal materi, bukan pada kompetensi belajar. Hal ini menimbulkan beban stres pada siswa, guru maupun orang tua murid, karena ujian nasional menjadi indikator keberhasilan belajar sebagai individu (tirto.Id, 12/12/2019).

Sebelum UN dihapuskan, UN telah mengalami beberapa perubahan istilah. Mulanya UN digelar pemerintah agar bisa mengukur kualitas pendidikan di suatu daerah. Nantinya, inilah yang akan dijadikan gambaran untuk menentukan kebijakan pendidikan di daerah. Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemendikbud, UN punya sejarah panjang. Sejak masa pemerintahan Soekarno, istilah UN sudah mengalami 6 kali perubahan nama. Padahal, dihapus atau tidak, UN tidak terlalu berdampak signifikan bagi peserta didik dan masa depan pendidikan di Indonesia sebab carut-marut pendidikan kita ternyata berakar dari visi, tujuan kurikulum, metode sampai pada evaluasi pendidikan. Parahnya, carut-marut pun sampai pada tataran teknis.

Penghapusan UN masih belum menjadi solusi dalam bidang pendidikan. Revisi berbagai macam kebijakan yang berjalan cukup panjang dalam sistem demokrasi di Indonesia mulai tahun 2013 hingga 2020 ternyata tidak mampu menjawab persoalan dunia pendidikan dan belum mampu menghasilkan kualitas anak didik yang diharapkan. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, yaitu untuk membangun potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang mandiri serta demokratis.

 

Evaluasi Pendidikan dalam Sistem Khilafah

Dalam sistem pendidikan negara Khilafah, tujuan pendidikan pada Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), Mutawasithah (setara SMP) dan Tsanawiyah (setara SMA) adalah: Pertama, membentuk generasi berkepribadian Islam. Artinya, membentuk pola pikir dan tingkah laku anak didik yang berdasarkan pada akidah Islam sehingga mereka senantiasa mengikuti Alquran dan hadits.

Kedua, menguasai ilmu kehidupan (keterampilan dan pengetahuan). Artinya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengarungi kehidupan. Tujuannya agar mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan, menggunakan peralatan, mengembangkan pengetahuan sehingga bisa berinovasi dalam berbagai bidang terapan.

Ketiga, mempersiapkan anak didik memasuki jenjang sekolah berikutnya. Pada tingkat perguruan tinggi, ilmu yang didapat tersebut bisa dikembangkan sampai derajat pakar di berbagai bidang keahlian, ulama, dan mujtahid.

Evaluasi pendidikan dalam sistem pendidikan pada masa Khilafah Islamiyah dilakukan secara komprehensif untuk mencapai tujuan pendidikan. Ujian umum diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran yang telah diberikan.

Ujian dilakukan secara tulisan, lisan, dan praktik. Ujian lisan (munadharah) merupakan teknik ujian yang paling sesuai untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa dalam memahami pengetahuan yang telah dipelajari. Ujian lisan dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup.

Di samping itu, ada ujian praktik pada keahlian tertentu. Siswa yang naik kelas atau lulus harus dipastikan mampu menguasai pelajaran yang telah diberikan dan mampu mengikuti ujian sebaik-sebaiknya. Tentu saja siswa-siswa yang telah dinyatakan kompeten/lulus adalah siswa-siswa yang betul-betul memiliki kompetensi ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dan memiliki pola sikap yang juga Islami (bersyakshiyyah Islamiyah).

Demikian mekanisme untuk melakukan evaluasi pendidikan dalam sistem Islam kaffah (Khilafah). Hanya dengan sistem pendidikan Islam yang berada dalam naungan pemerintahan Islamlah, tujuan pendidikan Islam bisa tercapai secara sempurna.

Wallahua’lambishawwab.

 

[lnr/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis