Derita Rakyat dalam Genggaman UU Cipta Kerja

Oleh : Isnawati
(Muslimah Penulis Peradaban) 

 

Lensa Media News – Sejak disahkannya UU Omnibus Law pada 5 Oktober 2020, arus unjuk rasa terus terjadi. Mulai dari kalangan buruh, pelajar, mahasiswa, ormas, hingga LSM datang silih berganti ke Istana Negara. Bahkan di berbagai daerah pun terjadi unjuk rasa. Kenekatan pemerintah untuk tetap mengesahkan RUU di tengah gelombang kecaman masyarakat, tak bisa lepas dari keuntungan yang bakal diperoleh korporasi.

Penelitian dari Marepus Corner, perkumpulan para peneliti muda dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, dominasi pebisnis mencapai 55% dari 575 anggota DPR. Hal ini berpotensi memicu konflik kepentingan dalam setiap pembuatan UU selain mengukuhkan oligarki politik untuk kepentingan para pengusaha. Sebaran pebisnis di DPR, katanya, lebih dari setengah atau 55%. “Total pebisnis itu meningkat jadi 318 orang. Rasio itu bisa 5-6 orang dari 10 orang anggota DPR ialah pebisnis,” kata Defbry Margiansyah, peneliti P2P LIPI dalam diskusi “Peta Bisnis di Parlemen, Potret Oligarki di Indonesia.”

Dengan komposisi itu, katanya, potensi konflik kepentingan dalam pembuatan UU akan makin tinggi. “Ada keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR itu mengindikasikan agenda kerja komisi-komisi rentan terhadap kepentingan agenda dan pebisnis itu.” Dia contohkan, “di Komisi VII DPR membidangi sektor energi di dalamnya ada para pengusaha energi ikut membahas regulasi,” tandasnya. (Mongabay 11 Oktober 2020).

Dari sinilah nampak rusaknya demokrasi. Undang-undang yang dihasilkan termasuk RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru regulasi ini akan memperkuat oligarki atau politik untuk mempertahankan kekayaan lewat lobi-lobi dan korupsi.

Dalam sistem kapitalistik, tidak ada deregulasi berbasis kepentingan rakyat, kepentingan para pebisnis kakaplah yang melatarbelakangi deregulasi. Omnibus law menjadi pilihan karena pebisnis tak akan sabar menempuh jalur konvensional untuk merevisi undang-undang satu per satu yang bakal makan waktu lebih dari 50 tahun. Itulah karakter demokrasi dalam melegislasi hukum penuh rekayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan pengusaha.

Konflik abadi antara buruh dan pengusaha ini membuktikan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam menyejahterakan buruh. Buruh dipandang hanya sebagai komponen produksi yang harus ditekan biayanya seminimal mungkin agar ongkos produk bisa murah. Penguasa tentu akan bersikap laksana wasit tinju, membiarkan kedua pihak saling “gebuk” dan hanya memisahkan sesekali waktu. Negara memosisikan dirinya sebagai “pihak luar” dari konflik abadi tersebut sebab pemain dan pembuat aturan adalah pemilik modal disekekilingnya.

Undang-undang Omnibus Law adalah produk demokrasi kapitalisme yang berusaha memberikan pelayanan pada pengusaha secara sempurna. Intervensi asing dan kepentingan oligarki kekuasaan sangat mencengkram negeri ini, melumpuhkan kekuatan untuk menolak hasil produk mereka. Wakil rakyat sebagai harapan untuk tempat mencari perlindungan dan solusi dari masalah yang ada, tak berdaya.

Permasalahan manusia dan kehidupannya, termasuk permasalahan bernegara sangatlah kompleks, jelas membutuhkan solusi tuntas dan sahih. Adapun metode sahih untuk mencapai perubahan adalah berlandaskan Alquran dan Assunnah, landasan yang mampu memberikan perubahan secara fundamental mulai dari cara menghadirkan seorang pemimpin hingga soal perburuhan.

Pemimpin yang adil dan amanah serta mencintai rakyatnya tidak mungkin lahir dari sistem demokrasi karena jauh dari Alquran dan As-Sunnah. Hanya sistem Islam dengan landasan iman yang mampu menghadirkan pemimpin yang arif, berani dan tegas dalam membela rakyatnya seperti masa Khulafaur Rasyidin. Kenegarawannya tidak disangsikan, sehingga rakyatnya sangat mencintainya dan ditakuti oleh lawannya.

Sudah saatnya negeri ini kembali pada pengaturan Islam. Para pemuda harus segera mewujudkan perubahan yang hakiki yaitu Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu menghancurkan tatanan oligarki yang sangat menyengsarakan rakyat. Para generasi adalah harapan rakyat untuk mewujudkan Rahmatan Lil Alamin bagi seluruh alam.
Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur”. Mereka bertanya, “bagaimana suatu negeri bisa hancur padahal dia makmur?” Ia menjawab, “Jika pengkhianat menjadi petinggi dan harta dikuasai orang-orang fasik. ” (Umar bin Khattab).

Wallahu a’lam bish shawab. 

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis