Majelis Umat, Perwakilan Tepat bagi Rakyat
Oleh: Titin Hanggasari dan Hasni Tagili
(Relawan Media dan Opini)
Lensa Media News – Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR yang telah ketuk palu 5 Oktober lalu menelurkan indikasi bahwa pemerintah kembali menguji kesabaran rakyat. Betapa tidak, mengutip pernyataan Dosen Fisipol Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto, pengesahan undang-undang ini bikin publik geleng-geleng kepala. “Pemerintah selalu ada saja caranya untuk menguji kesabaran kita, setelah kemarin UU KPK caranya juga seperti itu,” kata Wijayanto kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Menurutnya, motivasi pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja secara cepat ini karena ada kepentingan yang sama, yaitu ekonomi politik di kalangan elit oligarki. Singkatnya, terjadi pergeseran makna dari fungsi kelembagaan DPR yang katanya merupakan perwakilan aspirasi rakyat. Nyatanya, meski rakyat menolak tapi UU ini tetap saja disahkan.
Lantas, bagaimana sebenarnya mekanisme lembaga perwakilan rakyat secara ideal? Dalam Islam, tidak dikenal istilah perwakilan rakyat. Yang ada adalah Majelis Umat. Majelis umat adalah majelis yang beranggotakan orang yang mewakili kaum muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi pemimpin negara atau Khalifah, untuk meminta masukan atau nasehat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan kontrol dan mengoreksi (muhasabah) para pejabat pemerintahan (Al-Hukam).
Melalui wadah ini, kepentingan umat diakomodir. Mufakat didahulukan, tapi tentu saja tetap berpegang pada rambu-rambu syariat. Inilah salah satu model kelembagaan yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga idealnya kita umat Islam mencontoh keistimewaan majelis ini. Kenapa istimewa? Sebab, diambil dari aktivitas Nabi SAW. yang sering meminta pendapat atau musyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah SAW. terhadap orang-orang tertentu, diantaranya para sahabat beliau dalam meminta masukan dari mereka. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah Ali, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah. Inilah pentingnya penyaluran aspirasi umat demi menunjang ketaatan pemimpin terhadap syariat.
Sungguh luar biasa ketaatan dan ketakutan akan amanah sebagai wakil umat beserta pemimpinnya. Maka tak urung terciptalah hak dan kesejahteraan umat kala itu. Seandainya umat saat ini bernegara dan berpegang teguh pada beberapa dalil yang menyeru kaum muslim untuk mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhasabah al-hakim), insyaAllah kondisi berupa kerusuhan, kelaparan, perampasan hak, dll. bisa dikurangi.
Ya, sungguh bagaikan langit dan bumi gambaran umat di kala dahulu dan sekarang. Dulu, kaum muslim benar-benar menjalankan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan pada masa Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana umat memiliki hak untuk mengangkat wakil dalam menjalankan syura‘, umat juga berhak mengangkat wakil dalam menjalankan aktivitas muhasabah.
Itu menunjukkan kebolehan untuk membentuk majelis yang secara khusus, memberi ruang pada umat untuk mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintah dalam menerapkan apa yang ada dalam Alquran dan as-Sunnah.
Di sinilah peran majelis yang merupakan wakil umat dalam melakukan muhasabah (koreksi dan kontrol) dan syura‘ (musyawarah). Pun, pada masa Nabi, beliau membentuk Majelis Syuro (majelis umat) untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu yang terdiri dari 7 orang dari Muhajirin dan 7 orang Anshor. Anggota Majelis Syuro antara lain Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Amar, Huzaifah, Abu Dzar dan Bilal.
Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem parlemen demokrasi, namun lembaga ini memiliki banyak kewenangan yang berfungsi sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif Khalifah atau pemimpin. Para anggota majelis dapat menyuarakan opini politik mereka secara bebas tanpa takut dibungkam atau dibui.
Lebih rinci, menurut Abdul Qadim Zallum, (lihat Sistem Pemerintahan Islam, Bangil: Al-Izzah, 2002, hal. 280-281), Majelis Umat sendiri memiliki kekuasaan mandataris sebagai berikut: pertama, sebagai lembaga tempat Khalifah berkonsultasi atau lembaga yang berwenang memberikan nasihat dalam hal-hal yang bersifat praktis dan aktif yang tidak memerlukan kajian atau penelitian.
Kedua, majelis memiliki hak menilai kinerja Khalifah dalam hal tindakan-tindakan kenegaraan yang telah dilaksanakannya baik dalam hal berkenaan dengan urusan dalam maupun luar negeri. Dalam hal ini sifatnya mengikat bila suara dalam majelis mayoritas dan tidak mengikat bila suara majelis tidak mencapai mayoritas.
Ketiga, majelis memiliki hak untuk mengekspresikan ketidakpuasan pada para pembantu Khalifah, gubernur, dan para walikota. Dalam hal ini suara majelis bersifat mengikat dan Khalifah harus mencopot pejabat yang bersangkutan bilamana perlu.
Keempat, Khalifah wajib merujuk pada suara majelis dalam hal hukum perundang-undangan konstitusi dan norma-norma agama yang hendak diterapkan. Para anggota Majelis yang beragama Islam memiliki hak untuk membahas hal tersebut dan mengemukakan pandangan mereka tentang hal itu, namun opini mereka tidak bersifat mengikat.
Kelima, menyusun daftar kandidat Khalifah. Tidak ada kandidat dari luar daftar yang disusun majelis yang berhak dipilih sebagai Khalifah, dan keputusan majelis dalam hal ini bersifat mengikat. Hanya anggota majelis yang beragama Islam yang ikut menyusun daftar ini.
Dengan keistimewaan ini, komunikasi antara penguasa dan rakyat menjadi harmonis. Tidakkah kita merindukan hal yang demikian?
Wallahu ‘alam.
[lnr/LM]