Kritik Polemik Penyederhanaan Kurikulum Pendidikan
Oleh : Iiv Febriana
(Pengajar di Homeschooling Mutiara Umat Sidoarjo dan Aktivis Muslimah Rindu Syariah)
Lensa Media News – Sejak pandemi Covid-19 banyak kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mulai sekolah berbasis daring, dikeluarkannya izin belajar tatap muka di zona kuning dan hijau, kurikulum darurat, dan bantuan operasional sekolah (BOS).
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana menerapkan kurikulum baru pada 2021. Hal ini menuai polemik karena dianggap terlalu terburu-buru. Sejumlah guru juga mengaku khawatir tak bisa menerapkan kurikulum baru tersebut dengan baik. Sebab, gambaran umum targetnya tak memungkinkan jika melihat realitas di lapangan (medcom.id,01/10/2020).
Kebijakan kurikulum selalu melibatkan tarik- menarik antar kelompok kepentingan. Apa yang akhirnya tercakup dalam kurikulum nasional adalah hasil negosiasi antar kelompok kepentingan tersebut. Ironisnya, yang kerap tersingkir dalam proses ini adalah kepentingan subjek utama pendidikan, yakni para murid.
Polemik Pendidikan Masa Pandemi
Kondisi pendidikan di tengah pandemi ini mengharuskan pembelajaran dilakukan secara online. Artinya, guna menunjang pembelajaran online ini segenap perangkat dan fasilitasnya mesti dilengkapi terlebih dahulu. Namun, ketersediaan alat dan biaya kuota internet masih menjadi kendala utama yang tak terselesaikan. Jika akses pendidikan masih minim, maka akan bertambah parah ketika yang diterapkan kurikulum yang tidak tepat.
Sebelum polemik kurikulum baru ini muncul, Mendikbud menetapkan kebijakan Kurikulum Darurat yang memberi payung hukum kepada satuan pendidikan untuk memilih kurikulum sesuai kondisi. Namun, kebijakan tersebut ternyata belum mampu menjawab tantangan pendidikan saat pandemi, kecuali hanya mengurangi beban (jam mengajar) guru dan materi belajar siswa (tirto.id, 28/09/2020).
Kini, Kemendikbud tengah menggodok kurikulum baru yang mulai digunakan pada 2021 di sekolah-sekolah penggerak. Sebagaimana Kurikulum Darurat, rancangan kurikulum baru tersebut juga merupakan penyederhanaan dari Kurikulum 2013 yang mengusung Merdeka Belajar.
Kurikulum Pendidikan Islam
Persoalan kurikulum sejatinya adalah persoalan yang dinamis. Kurikulum itu bisa berubah mengikuti perkembangan jaman. Pendekatan, strategi, dan penilaian pembelajaran bisa disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Di tengah kondisi pandemi ini terkait penilaian bisa diserahkan ke masing-masing sekolah sesuai kondisi masing-masing. Di samping itu, dinamika materi ajar bisa diarahkan kepada life skill sebagai wujud penanaman karakter survive pada anak didik.
Selama paradigma dunia pendidikan masih sekuler dimana arah tujuannya hanya mencari nilai bagus, lulus dan bisa kerja. Nilai- nilai halal haram tercampakkan. Paradigma pendidikan seperti ini harus diubah dan diganti paradigma baru yang dilandasi akidah Islam. Dengan landasan akidah ini bisa ditentukan strategi dan arah pendidikan.
Arah dan tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya generasi yang berkepribadian Islam. Dengan begitu strategi pendidikannya adalah akidah dan tsaqafah Islam menjadi materi utamanya. Adapun penguasaan ilmu kehidupan diserahkan kepada minat siswa.
Di samping itu, kebijakan negara harus mendukung terwujudnya generasi bertakwa. Fasilitas dan perangkat pendidikan dilengkapi, tayangan- tayangan TV; iklan, bioskop serta poster termasuk baliho yang memicu dekadensi moral dihilangkan dan buku ajar yang berbasis akidah Islam diterbitkan. Dengan demikian anak didik sejak awal di bangku sekolah sudah dinuansakan dengan kehidupan yang Islami.
Tak dapat dipungkiri, masalah pembiayaan pun tak terelakkan. Islam pun memiliki model pembiayaan khas yaitu Baitul Mal. Komponen ini berfungsi untuk menyediakan anggaran demi berjalannya kewajiban pengurusan negara terhadap rakyat. Maka acuan-acuan pendidikan tadi adalah bagian integral dari penerapan Syariah Islam secara total dalam bingkai sebuah negara yang disebut khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[ry/LM]