Nutrisi Akal Ditolak, Kebodohan Diternak

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

 

Lensamedia.com– Politikus PDIP Ahmad Basarah mengritik keluarnya instruksi dari Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung Muhammad Soleh kepada para siswa SMA/SMK di Bangka Belitung untuk membaca buku tokoh Hizbut Tharir, Felix Siauw, berjudul “Muhammad Al-Fatih 1453”. Basarah sebut penulis buku adalah tokoh organisasi terlarang yang sudah dibubarkan pemerintah sekaligus berideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila.

 

Sebelumnya memang Kepala Dinas Babel, Mohammad Soleh tersebut menginstruksikan para siswa membaca buku Felix Siauw tentang sejarah ketujuh Turki Utsmani, kemudian merangkumnya. Setelah itu mengumpulkan tugas tersebut ke sekolah masing-masing. Sekolah-sekolah tersebut harus melaporkan hasil rangkuman siswa ke Kantor Cabang Dinas Pendidikan di Kepulauan Bangka Belitung untuk diteruskan ke Dinas Pendidikan. Namun Instruksi tersebut saat ini telah dicabut.

 

Masih menurut Basarah, masih banyak tokoh pada masa lalu yang juga bisa diteladani para siswa, misalnya pahlawan nasional. “Apa kurangnya ketokohan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, K.H. Hasyim Asy’ari, Bung Karno, Bung Tomo, atau ketokohan Jenderal Soedirman? Kisah-kisah keteledanan mereka lebih punya alasan untuk siswa dan siswi diwajibkan membacanya,” kata Basarah.

 

Ketua DPP PDI Perjuangan ini pun mengingatkan aparatur sipil negara (ASN) untuk patuh pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 yang memuat kewajiban taat dan patuh pada ideologi Pancasila. Dalam Pasal 3 undang-undang tersebut, ASN harus bertugas berlandaskan prinsip nilai dasar, kode etik, kode perilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pelayanan publik. Ia juga mengingatkan sanksi bagi ASN yang melanggar undang-undang tersebut, yaitu pemberhentian dengan tidak terhormat (gelora.co,03/10/2020).

 

Portal berita nasional seakan mengamini perkataan politikus berlambang kepala banteng ini dengan menyiarkan di media masing-masing berita Soekarno dan cerita asmaranya. Entah salah persepsi dengan apa yang dimaksud Basarah atau memang hanya itu yang tersisa dari tokoh-tokoh nasional untuk dikenal oleh generasi millenial ini, yaitu kisah romansa dengan 9 istrinya. Bahkan dengan isi surat rayuan yang makin menonjolkan “Maskulinitas” bapak Proklamator kita.

 

Padahal, akar persoalannya adalah Islamofobia yang sudah makin tak masuk akal, merembet ke hal-hal yang yang tidak ada sangkut pautnya dengan berbagai tuduhan Basarah di atas. Buku apapun isinya adalah produk akal, yang tidak mewakili siapapun, organisasi apapun, agama dan budaya meskipun ditulis berdasarkan fakta yang ada baik itu sejarah, budaya, agama dan lain sebagainya. Maka, sebagai bagian dari produk sain dan teknologi ia boleh dibaca dan diadopsi oleh siapapun.

 

Jika disangkutkan dengan pengarangnya, hanya karena tergabung dengan “organisasi terlarang” dan “paham terlarang” jelas ia hanya menghalangi akal mendapatkan nutrisi, bahkan makin menunjukkan kebodohannya. Ia tak memilah mana yang benar dan salah namun ngotot memperturutkan hawa nafsunya semata.

 

Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum, seorang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro juga dikenal sebagai pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila dan Guru Besar Undip menegaskan bahwa secara hukum HTI bukanlah organisasi terlarang hanya karena dicabut Badan Hukumnya, sebab banyak di Indonesia ormas dan paguyuban atau komunitas masyarakat yang juga tidak berijin. Yang menjadikannya terlarang adalah apa yang menjadi landasan organisasinya dan yang didakwakan.

 

Masih menurut Profesor Sutejo, dalam undang-undang KUHP di Indonesia tidak ada yang menyebut ide khilafah adalah terlarang. Sebab ia bagian dari ajaran Agama Islam. Dalam pasalnya jelas disebutkan Ateis, Marxisme, Komunislah yang terlarang. Lantas dari mana Basarah bisa begitu saja menjustice terlarang, lebih detil lagi, Khilafah itu bukan ideologi, tapi sebuah sistem pemerintahan. Menyandingkannya dengan ideologi hanyalah bagian dari kemunduran akal, akibat kurang baca.

 

Semestinya, upaya menurunkan rendahnya angka literasi di Indonesia ini dukung sepenuhnya oleh pemerintah. Tentu dengan mengeluarkan kebijakan yang mendukung agar budaya membaca berkesinambungan, sebab membaca adalah jendela ilmu pengetahuan. Maka karena ini termasuk kebutuhan pokok rakyat selain pendidikan yang layak bagi seluruh rakyatnya, negarapun harus menjamin ketersediaan sarana dan prasara yang mendukung budaya membaca. Mendorong dan memberikan apresiasi kepada para guru yang mewajibkan upaya pencerdasan umat ini.

 

Jelas bukan hal yang sulit, sebab negara memiliki sarana dan prasarananya. Apalagi yang dibaca adalah sejarah tokoh real dalam Islam yang memang akan mampu memberikan inspirasi kepada generasi muda untuk mengoptimalkan masa mudanya untuk Islam dan ajarannya. Wallahu a’ lam bish showab. (LN/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis