Negara Menjamin Layanan Publik
Oleh : Isnawati
(Muslimah Penulis Peradaban)
Lensa Media News – Layanan publik adalah esensi dasar bagi terwujudnya keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Buruknya sebuah layanan, terjadi karena birokrasi yang ada mengabdi pada kekuasaan (state oriented). Harapan sekaligus tuntutan rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas, prosedur jelas, cepat dan biaya yang murah bahkan gratis bukanlah hal yang berlebihan.
Harapan dan tuntutan rakyat tersebut menjadi polemik karena tidak sesuai dengan paradigma kapitalis demokrasi yang menihilkan nilai-nilai kebaikan. Celakanya lagi, kapitalisme sudah mendestruksi dunia dan menjadi pemimpin peradaban, dengan menempatkan negara hanya sebagai regulator pelayan oligarki.
‘Keharusan’ segera mengesahkan RUU Cipta Kerja seakan membuktikan ada upaya agar iklim yang menguntungkan asing terwujud. DPR RI dan pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja. Meski menuai pro-kontra di masyarakat, undang-undang Omnibus Law tersebut disetujui oleh sebagian besar fraksi di kompleks DPR RI, Senayan, pada Senin sore tanggal 5 Oktober 2020 (bisnis.com, 5/10/2020).
Salah satu tujuan dari penerapan UU Omnibus Law adalah perlindungan pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). UU Cipta Kerja dimaksudkan agar pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan perlindungan berupa upah dengan besaran sesuai kesepakatan program KJP (Kartu Jakarta Pintar), pelatihan peningkatan kapasitas, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan.
Gayung tak bersambut, banyak kalangan tidak percaya sebab sudah jelas bahwa setiap pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law justru menunjukkan negara mengabaikan hak rakyat untuk hidup bermartabat dan mempercepat investor asing masuk ke Indonesia sebab napas dari undang-undang Cipta Karya tersebut bersifat liberalistik. Pemain-pemain besar seperti cukong-cukong akan menjadi pemilik kekuasaan. Rakyat akan kehilangan sumber penghidupannya. UU Cipta Kerja justru memfasilitasi keserakahan dan korupsi para investor hitam dengan bantuan oligarki. Menghilangkan jaminan pekerjaan layak, outsourcing dan kontrak bisa semakin merajalela. UU Omnibus Law juga mempermudah tenaga kerja asing termasuk buruh kasar masuk dan bekerja.
Sebenarnya UU Omnibus Law menjadi polemik karena berdiri di atas banyak kepentingan. Standar kesejahteraan berupa upah minimum karyawan serta kehidupan yang layak ditentukan oleh pemerintah, hal ini merupakan kesalahan yang fatal.
Ketenagakerjaan adalah hubungan pengusaha dan pekerja yang saling menguntungkan. Pengusaha memberikan upah sesuai keahlian dan kesepakatan, sedangkan pekerja memperoleh imbalan sesuai kesepakatan. Peran negara adalah menjaga dan mencegah agar tidak terjadi kezaliman di tengah-tengah rakyatnya. Pemenuhan pendidikan, kesehatan, kebutuhan energi, transportasi dan fasilitas publik lainnya disediakan dengan tarif yang murah, bahkan gratis dengan pelayanan terbaik.
Polemik antara pengusaha dan pekerja tidak akan pernah selesai selama semua kewajiban negara diserahkan pada pengusaha. Sudah saatnya negeri ini mengelola sendiri kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyatnya dengan mengunakan tangan-tangan terampil anak bangsa, tidak begitu saja diserahkan pada asing dengan dalih investasi.
Kezaliman ini harus segera dihilangkan! Jangan biarkan rakyat terus menuntut apa yang memang menjadi haknya. Kembali menerapkan sistem ekonomi Islam adalah solusi ampuh agar tidak ada lagi regulasi zalim yang hanya menguntungkan para kapitalis dan investor asing. Sistem ekonomi dalam Islam mengatur secara detail tentang pengupahan, outsourcing, tunjangan kesejahteraan dan PHK sewenang-wenang. Kembali pada fitrah pengaturan Islam secara kaffah harus segera diwujudkan menuju kesejahteraan yang hakiki. ”Akan ada nanti para pemimpin yang fasik lagi jahat. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezalimannya (atas rakyatnya), maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongannya. Ia tidak akan sampai pada Al-Haudl (telaga)” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i).
Wallahua’lambishawwab.
[lnr/LM]