Hallyu dan Millah
Oleh : Ita Husnawati
(Pendidik dan Member AMK)
Lensa Media News – K-Pop dan Drama Korea adalah dua hal yang menjadi kegemaran sebagian remaja Indonesia saat ini. Berkaitan dengan hal ini, muncul pernyataan dari orang nomor dua di Indonesia bahwa maraknya budaya K-pop diharapkan juga dapat menginspirasi munculnya kreativitas anak muda Indonesia dalam berkreasi dan mengenalkan keragaman budaya Indonesia ke luar negeri (tirto.id, 20/9/2020).
Secara histori, Korean Pop (K-Pop) dimulai akhir tahun 1990-an. Istilah Hallyu diadopsi oleh media Tiongkok setelah album musik pop Korea dan Serial drama televisi Korea mulai diputar di Tiongkok dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur Tengah.
Populernya drama Korea di stasiun televisi Indonesia terjadi setelah drama negara Asia lain diputar. Para sineas drama di Korea mulai menyadari daya jual drama Korea sangat tinggi di negara-negara tetangganya sehingga produksi serial mereka menjadi komoditas ekspor. Sejak saat itu istilah “Hallyu” atau “demam Korea” muncul dan diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film. Fenomena ini turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya Korea ke berbagai negara.
Wabah hallyu atau gelombang Korea ini kemudian berdampak pada pariwisata. Lokasi syuting drama Korea yang terkenal menjadi objek pariwisata yang digemari para turis untuk dikunjungi dan berimplikasi terhadap bertambahnya devisa negara sekaligus lebih mendekatkan secara emosional antara Korea dengan turis dan pelan-pelan akan memunculkan rasa sense of belonging terhadap Korea (wikipedia.org).
Mungkin Bapak Wapres kita terinspirasi dari ini, sehingga muncul pernyataan demikian. Benar bahwa kreatifitas bisa menghasilkan sesuatu yang menarik yang membuat bangsa tersebut terkenal dan bisa menarik wisatawan untuk datang ke negeri tersebut. Namun, sebagai Muslim tentu sandaran kita adalah Alquran dan As-Sunnah. Kreatifitas pun harus bersandar kepada kaidah amal, yaitu berpikir sebelum berbuat; berbuat untuk meraih tujuan dan perbuatan harus senantiasa disertai dengan suasana Iman.
Pikirkan dampaknya ketika kita mengapresiasi sesuatu yang sudah menjadi kegemaran, tentu akan menambah kuat kegemaran akan hal tersebut. Sebagian besar remaja Indonesia yang mayoritas muslim sudah terkontaminasi gelombang “Hallyu”. Fakta maraknya budaya K-Pop dan Drakor ini menunjukkan bahwa anak muda negeri ini telah berhasil dibawa untuk mengikuti millah (fun, food and fashion) mereka meskipun agamanya masih Islam.
Kita bisa menyaksikan dari profil WhatsApp para remaja saja, rata-rata profilnya artis Korea. Ini menunjukkan bahwa mereka mengidolakannya, padahal dalam Islam mengidolakan seseorang haruslah yang agamanya baik, karena seseorang akan bersama yang dicintai (diidolakannya). Jadi kalau mereka mengidolakan artis Korea dikhawatirkan akan mengikuti gaya hidup mereka, dan ketika yang diidolakannya non muslim tentu kurang baik akibatnya.
Padahal jika memperhatkan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional akan didapati bahwa salah tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa yang ingin dihasilkan dari pendidikan adalah peserta didik yang bertakwa.
Definisi takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan kata lain peserta didik yang ingin dihasilkan adalah yang berkepribadian Islam. Harusnya pemerintah tidak membiarkan fenomena itu terjadi, karena tugas negara adalah menerapkan aturan Allah secara Kaffah dan menyebarkannya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
Pemerintah berusaha menggenjot pariwisata untuk meningkatkan income dalam negeri, dan sayangnya kurang tepat ketika anak bangsa yang mayoritas muslim ini didorong untuk meningkatkan kreativitas dengan mencontoh negara yang belum berasaskan akidah Islam. Inilah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalis sekuler. Ternyata dampaknya tidak hanya pada ekonomi, peradaban pun turut tergerus.
Generasi penerus adalah potensi bangsa yang harus disiapkan untuk memimpin di masa depan, harusnya mereka dibina dengan tsaqofah Islam agar menjadi pribadi yang tangguh yang setiap aktifitasnya disertai dengan suasana iman, sehingga menghasilkan peradaban yang gemilang, seperti sosok Muhammad Al-Fatih pemuda yang yakin dengan bisyarah (kabar gembira) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang penaklukkan Konstantinopel dan berusaha dengan optimal hingga berhasil mewujudkannya.
Jadi, agar bangsa ini tidak terlalu jauh terbawa oleh millah (fun, food an fahion) selain Islam, maka sudah saatnya umat diatur dengan sistem Islam yang rahmatan lil’alamiin, yaitu Khilafah Rasyidah a’la minhaajiinnubuwwah.
Wallahu A’lam bishawab.
[ry/LM]