Anomali Oligarki dan Dinasti Politik

Oleh : Isnawati

 

Lensa Media News – Anomali oligarki dan dinasti politik tengah menguat dalam mengendalikan pemerintahan di Indonesia, di kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam trias politika ketiganya memiliki fungsi saling kontrol untuk menjaga keseimbangan, namun secara empiristik jauh dari keseimbangan bagaikan bumi dan langit.

Salah satu contoh konkret seperti yang dinyatakan oleh pengamat politik dari Universitas Al Azar, Ujang Komaruddin berpendapat, “Presiden Joko Widodo tengah membangun dinasti politik.” Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming yang maju dalam pemilihan Walikota Solo 2020.

Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik, mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi Walikota, kata Ujang kepada Kompas.com, Sabtu 18 Juli 2020.

Dalam Khazanah tradisi Jawa, konsep aji mumpung selalu dimaknai secara negatif, mendirikan dinasti politik sangatlah mudah jika ada anggota keluarga yang sudah menjabat lebih dahulu. Sebagaimana diwartakan CNNIndonesia.com pada Jumat 7 Juli 2020 Gibran anak seorang Presiden yang memiliki semua sumber daya akan melenggang kangkung berhadapan dengan kotak kosong menuju Walikota Solo.

Dinasti politik sudah menjadi hal yang biasa, etika menjaga martabat pada penguasa hanya sebatas karakter dan kultur saja tapi ketika sampai pada fase kekuasaan, idealisme cuma menjadi omong kosong. Mengaburkan syarat-syarat calon penguasa yang memiliki kecakapan, kompetensi, tanggung jawab, maupun sifat amanah menjadi cara kerjanya. Oligarki partai politik nampak kuat dengan reserve terhadap penguasa bersama koalisinya, kekuatan modal yang tak terbatas memuluskan untuk mencapai kekuasaan.

Demokrasi menjadi kredo untuk meraih kekuasaan, prosesnya memang seolah demokratis, namun sebenarnya oportunis menjadi keniscayaan. Demokrasi adalah landasan yang cacat bawaan, tidak mungkin mampu melahirkan pemimpin yang mempunyai pemahaman yang benar tentang etika politik. Dalam demokrasi politik merupakan alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan semata, menjadi ajang kompetisi dengan menghalalkan segala cara.

Alhasil negara yang menganut demokrasi kapitalisme dapat dipastikan abai pada norma dan etika. Politik praktis yang dihasilkan identik dengan konspirasi, intrik, konflik dan koruptif karena penyelewangan kekuasaan. Raja-raja kecil lahir dan menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri sendiri dan kerabatnya dengan adanya otonomi daerah.

Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat penuh bias dan ketidakadilan yang memunculkan dinasti-dinasti politik. Secara hukum memang tidak ada aturan yang mengatur mengenai politik dinasti. Pergantian kepemimpinan oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga atau hubungan darah, hal tersebut sah-sah saja. Pasal 7 huruf r undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Kepala Daerah melegalkan dinasti politik. 

Dari sisi hukum, dinasti politik memang tidak ada yang dilanggar namun kaitannya dengan etika dan juga moralitas dalam berpolitik menciderai kepercayaan rakyat. Maraknya dinasti politik menyisakan pertanyaan besar tentang landasan yang digunakan, berbeda dengan perpolitikan dalam pengaturan Islam, jelas dan terpercaya.

Islam tidak pernah menutup keinginan untuk berkuasa, pergolakan yang menyertai proses politik adalah hal yang lumrah. Politik dalam Islam sangat memperhatikan bagaimana cara kekuasaan itu diraih serta dalam rangka apa kekuasaan itu diberikan. Jabatan dan kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan pada rakyat dan yang lebih utama pada Pencipta dan Pengatur kehidupan.

Amanah dan pertanggung jawaban inilah yang mengarahkan seseorang untuk memimpin dengan mengerahkan segenap kemampuan, waktu, tenaga dan pikiran. Syariat Islam melahirkan pemimpin bukan penguasa yang menggunakan aji mumpung di tiap kesempatan untuk memperkaya keluarga dan kerabatnya seperti dicontohkan oleh Umar bin Khattab.

Amirul mukminin pernah melarang anaknya berbisnis karena khawatir orang bertransaksi dengan dia bukan karena sosok Abdullah sebagai pribadi, tapi karena Umar bin Khattab. Begitu berhati-hatinya Umar bin Khattab dalam memimpin umat Islam. Rakyat merasa aman, tentram, damai, Rahmatan lil alamin terasa keseluruh penjuru dunia. Pemimpin yang adil hanya hadir dalam sistem negara yang adil juga yaitu Institusi pemerintahan Islam (Khilafah).

Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada hari kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR. Nasa’i dan Ahmad).

Wallahu a’lam bis swab.

 

[ra/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis