Ngotot New Normal Life atau New Mortal Life?

WhatsApp Image 2020-07-14 at 06.03.12

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)

 

Lensa Media News – Presiden Joko Widodo berkunjung ke Jawa Timur, Kamis, 25 Juni 2020, sebagaimana dilansir Bisnis.com, guna memantau perkembangan penanganan Covid-19 di wilayah setempat. Dilanjut menggelar pertemuan dengan Gubernur Jatim dan kepala daerah di Gedung Grahadi. Setelah menerima laporan dari kepala daerah, Presiden memberi tenggat dua pekan agar penyebaran Covid-19 di Jatim terkendali.

Hampir dua pekan setelah pertemuan itu, data menunjukkan kasus penyebaran corona masih terus bertambah. Salah satunya di Sidoarjo, wilayah yang berbatasan langsung dengan Surabaya, salah satu episentrum terbesar penyebaran Covid-19 di Jatim.

Hingga Ketua Gugus tugas Covid-19 Sidoarjo, Nur Ahmad Syaifuddin mengusulkan tambahan rumah sakit rujukan di wilayah setempat, untuk menampung pasien positif Covid-19 di Sidoarjo yang bergejala.

Ketua Gugus tugas Covid-19 Sidoarjo, Nur Ahmad Syaifuddin di Sidoarjo, mengatakan pihaknya mengajukan tiga rumah sakit rujukan dari tujuh yang sudah jadi rujukan sebelumnya. “Ada tiga rumah sakit rujukan yang kami ajukan untuk menangani pasien Covid-19 yang bergejala. Rumah sakit mana saja, kami belum bisa sebutkan,” katanya (Bisnis.com,2/7/2020)

“Sejumlah ruas jalan di Kabupaten Sidoarjo pun ditutup menyusul ditetapkan pelaksanaan jam malam yang kedua kalinya sejak pukul 22.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB sebagai upaya mengantisipasi penyebaran virus corona atau Covid-19” . Kata Wakil Ketua Gugus Tugas Covid-19 Sidoarjo Kombespol Sumardji , dia menambahkan ada lima ruas jalan yang ditutup.

Kombespol Sumardji mengatakan penerapan jam malam ini sama dengan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dulu (Bisnis.com, 4/7/2020). Bisa dibayangkan betapa gentingnya situasi Sidoarjo kini dan Jawa Timur pada umumnya. Namun, Presiden Jokowi menegaskan hanya memberi tenggat dua minggu saja virus Corona bisa enyah dari Jawa Timur.

Dengan cara secanggih apapun tak masuk akal jika presiden hanya mampu bicara tanpa membeberkan teknisnya bagaimana. Jika masih memakai cara lama yang sudah dikerjakan selama ini ya sudah pasti gagal. Sebab, penyelesaian hari ini pada dasarnya hanya fokus pada perekonomian. Mahal dan langkanya tes Rapid, rumah sakit rujukan yang kurang, banyak tenaga kesehatan berikut dokter yang gugur, gaya hidup masyarakat yang tak meningindahkan protokol kesehatan, lambatnya bansos, BLT dan tak berfungsinya Kartu Prakerja makin membuat lambatnya penanganan Covid-19 sepuluh kali lipat.

Akhirnya yang menjadi pertanyaan besar, kita sedang digiring menuju new normal life atau new mortal life? Bak petarung di Medan perang, senjata kita kata-kata penegasan tanpa senjata, kavaleri bahkan pasukan tentara. Yang ada kita mati konyol dihadapan musuh.

Inilah wajah kapitalisme yang menjadi topeng keseharian pemimpin negeri ini. Menutupi kegagalan mutlak mereka keluar dari kerusakan pandemi Covid-19 ini. Pemerintah terburu-buru mengajak masyarakat Jawa Timur kembali menggerakkan perekonomian disaat kondisi masih ” berdarah-darah” sebab pertambahan yang positiv Covid dalam sehari bukan bijian namun ratusan. Dan itu bisa menimpa siapa saja termasuk keluarga dekat. Jikapun perekonomian bergerak apa gunanya jika nyawa manusia juga melayang sia-sia?

Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Arti mati tanpa hak tentu termasuk ketika pemimpin abai dalam meriayah umatnya. Malah justru fokus pada penanganan ambruknya ekonomi bukan pada nyawa satu rakyatnya. Tak bisa ditawar lagi bahwa kita butuh negara yang sevisi dan semisi dengan kaum Muslimin. Yang tak menolak syariat dan benci kekufuran.

Memang nyata penguasa kita salah ambil strategi penangan Covid-19 sejak awal, bahkan meremehkan kehadirannya di Indonesia padahal tak ada yang menjamin Indonesia lebih kuat dari negara manapun di dunia yang kini keok dihadapan Covid-19. Selain di awal sempat menyembunyikan informasi terkait orang yang sudah positiv Covid-19, hingga berbelitnya kebijakan yang ditetapkan antara pusat dengan daerah inilah yang membuat runyam persoalan.

Wahai kaum Muslimin, tidakkah ini menjadi pelajaran, bahwa hanya syahwat ekonomi yang penguasa ingin tunjukkan, sementara rakyat hanya ada di posisi objek penderita. Ratapan para korporasi dan investor asing lebih menyayat hati penguasa, padahal tak hanya keringat rakyat yang dihisap, bahkan juga darah dan kehormatannya. Masihkah tak yakin bahwa solusi semua ini hanya Islam? Mungkin saatnya kita kembali belajar dan melihat sejarah.

Wallahu a’ lam bish showab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis