Tanpa Sense of Crisis, Negara Mau Dibawa Kemana?

Oleh : Salma Banin

(Pegiat Literasi di Komunitas Pena Langit) 

Lensa Media News – “Kerja keras, dalam suasana seperti ini sangat diperlukan. Kecepatan dalam suasana seperti ini sangat diperlukan. Tindakan-tindakan di luar standar saat ini sangat diperlukan dan manajemen krisis. Sekali lagi kalau payung hukum masih diperlukan saya akan siapkan. Saya rasa itu,” terang Presiden Jokowi yang terekam apik dalam salah satu channel YouTube resmi milik pemerintah hingga viral belakangan ini.

Hal ini terkait penanggulangan Covid-19 yang dinilai sangat mengecewakan, jajaran kabinet dianggap tak memiliki sense of crisis, yakni kepekaan bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja. Alih-alih bekerja ekstra, malah seolah tak terjadi apa-apa.

Ibu Menkeu pun menyampaikan alasan bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh musuh baru yang menjadikan pemulihan ekonomi nasional mangkrak. Masalah administrasi dan operasional dianggap pengganjal paling vital yang berakibat pada (1) penyerapan belanja negara yang belum maksimal, rerata anggaran hanya mampu direalisasikan kurang dari 5%, (2) beberapa sektor hanya mampu mengupayakan pada angka 10% lebih sedikit, (3) terhambatnya pembayaran tenaga medis dan (4) perlunya Kemenkeu merancang strategi baru untuk mempercepat perbaikan atas carut marut yang kadung terjadi.

Wajarlah pemimpin kita nampak murka dan menyatakan akan mengambil rencana extraordinary (luar biasa) seperti membubarkan lembaga, reshuffle kabinet, hingga menelurkan Perppu jika perlu.

Namun, akar permasalahannya bukan disitu. Solusi bergantinya aturan, kebijakan bahkan personal kepemimpinan berisiko tinggi terhadap tatanan yang telah dibentuk selama ini. Sebab seluruh struktural harus beradaptasi kembali dengan mekanisme yang bisa jadi sangat berbeda dari iklim sebelumnya.

Sedang dalam waktu bersamaan jatuhnya korban atas wabah Covid-19 setiap hari semakin meningkat, tidak hanya dari masyarakat umum, tenaga ahli pun bersusulan berita dukanya kita dengar. Belum ada tanda-tanda kurvanya akan melandai dalam waktu dekat, kemudian penguasanya sibuk mencari kambing hitam atas kegagalannya melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Beginilah kiranya gambaran atas ketiadaan sense of crisis yang sesungguhnya sebab sistem yang digunakan masih berlandaskan konsep negara ala Kapitalisme dimana hubungan negara dan rakyatnya hanya sebatas hubungan bisnis, pertimbangan untung-rugi secara materi, minim kepekaan dan sangat tidak manusiawi.

Betapa tidak, sejak awal merebaknya pandemi, perangkat negara justru terkesan santuy dalam menanggapinya. Hingga ketika ribuan nyawa sudah tak tertolong, tetap saja poin investasi yang menjadi poros utama dalam pengambilan kebijakan. Paling penting adalah new normal life jalan dulu, supaya kapital ekonomi bisa berkembang sehingga pemodal tak akan hengkang dari Bumi Pertiwi. Ini juga menjadi alasan kuat tetap dimasukkannya ratusan TKA China untuk melanjutkan proyek di wilayah Sulawesi Utara.

Bagi manusia yang masih bernalar sehat seraya menyertakan nurani, akan jelas melihat dari apa yang telah diupayakan pemerintah tak ada selain untuk mengamankan kepentingan golongannya sendiri.

Inikah yang benar-benar dibutuhkan rakyat? Atau, sebuah konsep kehidupan bernegara yang tak hanya sesuai dengan fitrah, ia pun teruji mampu memanusiakan manusia dalam segala kondisi, baik ketika menghadapi krisis maupun keadaan normal?

Umar bin Khatthab, seorang khalifah yang mampu menyelesaikan wabah di Syam dalam hitungan hari setelah menunjuk Amr bin Ash sebagai wali disana. Strategi yang diambil dua tokoh negarawan ini tidak lain adalah menggali dari apa yang telah diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW, yakni syariah Islam.

Berbekal ketakwaan dan warisan sistem kepemimpinan yang sesuai dengan metode (manhaj) kenabian, rakyat mampu terpenuhi kebutuhan hidupnya. Paripurnanya peradaban ini bahkan mampu menjadi mercusuar berabad-abad lamanya. Bahkan diprediksikan oleh NIC (badan intelijen nasional Amerika) akan kembali memimpin dunia di tahun ini, berdasar pada dokumen Mapping The Global Future yang rilis pada Desember 2004 lalu.

Wallaahu a’lam bish showab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis