Menurut Sri Mulyani, rendahnya serapan anggaran kesehatan memang disebabkan tahapan pencairan yang harus dijalankan. Anggaran tersebut tidak seluruhnya disalurkan melalui Kemenkes, ada juga yang disalurkan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, baik nasional maupun daerah. Sebagian anggaran juga merupakan insentif pajak kepada rumah sakit yang menangani pandemi Covid-19. Anggaran bidang kesehatan sebesar Rp 87,5 triliun di antaranya untuk belanja tambahan yang berhubungan dengan Covid-19 langsung. Seperti penanganan gugus tugas, pembelian APD pada tahap awal, dan upgrade rumah sakit (1/7).

Harapannya, prosedural ini tidak lama dan berbelit, karena para tenaga medis sudah berkorban meninggalkan keluarga tercinta selama Berbulan-bulan, bahkan entah sampai kapan. Mengenakan APD berjam-jam, rela menahan buang hajat besar dan kecil, menahan lapar dan dahaga, serta sangat memungkinkan tertular virus karena berinteraksi langsung dengan pasien covid-19. Termasuk rela mengorbankan nyawa yang menjadi taruhannya, sebagai bukti pengabdian mereka di dunia kedokteran atas sumpah yang pernah mereka ucapkan.

Melihat perjuangan dan pengorbanan mereka menjadi pahlawan di garda terdepan dalam menghadapi Covid-19, sudah sepantasnya mendapat apresiasi. Bukan hanya kata tapi juga tunjangan nyata. Dalam Islam, tunjangan bagi tenaga medis sudah dijamin apalagi saat kondisi pandemi. Karena pemimpin negara di dalam Islam memiliki tugas mengurus urusan rakyat, memenuhi, dan menjamin kebutuhan pokok individu dan kolektif setiap warga negara. Tentunya hal ini ditopang sistem ekonomi Islam yang stabil karena sistem ekonomi Islam berdiri atas pondasi akidah.

Rasulullah Saw. bersabda: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Hanya dalam Islam kebutuhan dan tunjangan rakyat terjamin dengan baik.

Sherly Agustina, M.Ag
(Waringin Kurung, Serang-Banten)

[ah/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis