Kebijakan Mencekik di Kala Paceklik

Oleh: Kunthi Mandasari

 

Lensa Media News – Dampak penyebaran virus Corona tak hanya menghilangkan nyawa. Namun juga, berdampak pada perekonomian. Banyak usaha gulung tikar dan berujung pada PHK masal. Namun di tengah aneka kesusahan justru masih ditambah dengan kebijakan yang menyesakkan.

Tanggal 5 Mei 2020 lalu, iuran BPJS Kesehatan resmi dinaikkan. Melalui Perpres No. 64 Tahun 2020 yang diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di dalamnya mengatur tentang Jaminan Kesehatan dan juga mengatur mengenai iuran BPJS Kesehatan.

Perpres tersebut sebagai pengganti kedua Perpres No. 82 Tahun 2018. Berdasarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) bagi peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja) disesuaikan menjadi Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III (cnbcindonesia.com, 14/05/2020).

Sontak keputusan tersebut menuai berbagai kritik. Agus Harimurti Yudhoyono, turut menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo. “Masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pandemi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” tulis AHY melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (14/5/2020). (tribunnews.com, 15/05/2020).

Sama seperti pembangunan proyek infrastruktur, menurut AHY, pemerintah seharusnya juga dapat memberikan skala prioritas terhadap sektor kesehatan masyarakat. AHY juga menyarankan pemerintah untuk merealokasikan anggaran pembangunan infrastruktur yang belum mendesak untuk menutupi kebutuhan Rp20 triliun bagi BPJS Kesehatan.

Saran AHY memang lebih realistis. Pengalihan dana infrastruktur dirasa bisa menutup desifit BPJS serta meringankan beban masyarakat. Mengingat kondisi masyarakat dalam keadaan serba sulit. Untuk makan saja mereka kesusahan, ditambah kenaikan premi BPJS kian memberatkan. Namun perlu diketahui, bahwa sejak awal kelahiran BPJS memang telah cacat. MUI pun telah berfatwa bahwa hukum BPJS adalah haram. Karena adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).

Nada kekecewaan juga disampaikan oleh Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc. Beliau mengatakan, kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Hal ini disampaikan Syekh Fadhil, sapaan akrab senator muda asal Aceh itu, kepada Serambinews.com, Minggu (17/5/2020).

“Kebijakan ini melukai hati masyarakat. Di tengah wabah Corona seperti sekarang, banyak masyarakat mengalami kesusahan di bidang ekonomi serta PHK terjadi di mana-mana,” kata Fadhil Rahmi.

Kekecewaan demi kekecewaan akan terus mewarnai setiap kebijakan. Ketika pengambilan kebijakan disandarkan pada akal. Pada dasarnya akal manusia memiliki sifat lemah, sebar kurang dan terbatas. Tentunya tidak bisa memberikan kepuasan terhadap seluruh manusia.

Hal ini berbanding terbalik dengan Islam. Di mana kedudukan pembuat hukum hanya dimiliki oleh Pencipta Alam Semesta, yaitu Allah Swt. Kepala negara (Khalifah) hanya bertugas sebagai pelaksana. Tentunya disandarkan pada Alquran, As-sunah, ijma’ dan qiyas para sahabat. Jika ada perkara baru akan dilakukan penggalian hukum oleh para mujtahid. Sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan mampu memuaskan akal, sesuai fitrah dan menentramkan jiwa. Karena setiap kebijakan yang dihasilkan disandarkan pada syariat-Nya.

Dalam Islam kebutuhan sandang, pangan maupun papan merupakan kebutuhan pokok individu rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Selain itu, jaminan keamanan, pendidikan serta kesehatan merupakan hak dasar bagi seluruh masyarakat. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa diantara kalian yang bangun di pagi hari dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia.”  (HR. at-Tirmidzi)

Dalam hadist tersebut Rasulullah saw. menjelaskan, bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan ini seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Hal ini menjadi kiasan, bahwa betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu. Oleh karenanya, keberadaan negara dalam Islam wajib memberikan jaminan sandang, pangan maupun papan. Serta negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal itu menjadi bagian dari kewajiban dasar negara atas rakyatnya. Terlebih ketika dalam kondisi pandemi wabah seperti saat ini.

Dalam Islam, penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Karena kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat. Hal ini pula yang membuat para khalifah bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajibannya. Sehingga tidak akan membuat kebijakan yang jelas telah diharamkan oleh syariat. Apalagi ketika kebijakan tersebut bisa berpotensi menyengsarakan rakyat.

Sayangnya, pemahaman semacam ini tidak dimiliki oleh para pemimpin sekuler. Sehingga kebijakan yang diambil bukannya memberikan jaminan terhadap kesehatan masyarakat, yang ada justru kian menyengsarakan. Oleh karenanya, kita seharusnya mencampakkan sistem fasad ini dan menggantinya dengan sistem Islam. Dengan menerapkan syariat Islam keamanan, kenyamanan serta kesejahteraan bukan lagi sebuah impian.

Wallahu’alam bishshawab.

 

[ln/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis