Bullying, Tren Generasi Sekuler

Oleh: Nusaibah Al-Mujahidah

 

LensaMediaNews— Merebaknya kasus bullying yang terjadi di sekolah dalam beberapa bulan terakhir, sungguh menyayat hati. Bulan Januari sampai Februari 2020 setiap hari publik disuguhi berita kekerasan anak. Seperti kasus siswa yang jarinya putus dan harus diamputasi setelah tubuhnya dibanting ke paving.

Kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong-gorong sekolah, serta siswa yang ditendang hingga meninggal. Kasus terbaru dialami oleh sisiwi SMP di Purworejo yang ditendang dan dipukuli karena menolak untuk memberi uang.

Tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, dan penghakiman media sosial merupakan pemicu anak melakukan perundungan. Catatan KPAI dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Menurut Komisioner KPAI Bidang Hal Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, bullying seperti fenomena gunung es, trennya akan terus meningkat (inilahkoran.com,08/02/2020).

Orang tua tentu dibuat sangat khawatir dengan trend bullying. Namun sangat disayangkan pemerintah lewat kemendikbud belum memiliki terobosan baru untuk mencegah kekerasan anak yang marak di sekolah-sekolah Indonesia. Sikap yang ditunjukkan pemerintah membuktikan kegagalan dalam membangun sumber daya manusia melalui pendidikan sekuler yang saat ini diterapkan.

“Kasus-kasus yang terjadi kan sudah ditangani. (Untuk antisipasi) saya belum come up dengan ide baru,” ujar Direktorat Jendral PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, Haris Iskandar di Kemendikbud saat merespon kasus perundungan siswa SMPN Malang. (cnnindonesia.com, 06/02/2020).

Pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah tidak bisa menghasilkan generasi yang berkarakter. Menurut Apri Damai Sagita Trisandi, Pemerhati pendidikan dan Wakil Kepala Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program ini belum mendarat baik di sekolah-sekolah.

Kalaupun pemerintah meningkatkan prestasi akademik siswa untuk menghadapi masalah bullying, hal ini tidak bisa menjamin Indonesia terbebas dari bullying. Prestasi yang baik tidak bisa menjamin siswanya memiliki kepribadian yang baik pula.

Ditambah pula saat ini pendidikan Indonesia berlandaskan sekulerisme, dimana terjadi pemisahan agama dari kehidupan. Yang akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan remaja. Seperti berbuat semaunya, hilang rasa kemanusiaan, suka berfoya-foya, dan tak takut dosa apalagi Tuhan.

Negara justru menakut-nakuti remaja dan orang tua dengan islamphobia dan ide radikalisme. Tetapi tidak membangun kepedulian untuk mencegah tawuran, pergaulan bebas, pornografi dan kekerasan serta bullying. Wajar jika kerusakan akan terus terjadi dan mustahil melahirkan generasi unggul berkarakter.

Islam adalah satu-satunya solusi atas setiap permasalahan yang dialami manusia. Islam memberikan perhatian yang besar kepada remaja sejak dini. Pada masa Islam berjaya, keluarga menjadi madrasah pertama.

Peran ibu sangat penting sebagai sekolah pertama bagi anak-anak dengan menanamkan aqidah yang kuat dan pemahaman ajaran Islam yang benar. Dibiasakan sejak dini untuk senantiasa taat kepada Allah SWT dan menjauhi maksiat. Mengerjakan shalat, berpuasa, menutup aurat hingga berjihad.

Remaja yang dihasilkan pada era Khilafah sangat luar biasa. Pada usia yang sangat belia mampu menghasilkan karya yang sangat membanggakan, seperti menemukan benda-benda penting, ahli dalam saintek, hingga mampu menaklukan Konstatinopel pada usia 20 tahun. Semua itu karena baiknya tatanan kehidupan pada masanya.

Negara dan masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk kepribadian generasi. Negara wajib menutup semua pintuk kemaksiatan dari media, baik cetak maupun elektronik, hingga kemaksiatan yang nyata di depan mata. Dengan semua pengaturan Islam maka kasus perundungan akan sirna dan akan tercetak generasi emas. Wallahu a’ lam buah showab. [ry/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis