Korupsi di Alam Demokrasi, Sebuah Pengkhianatan atau Bawaan?

Oleh: Shofiyah Manaf

 

LensaMediaNews – Mati satu tumbuh seribu. Pepatah yang sangat mewakili kasus korupsi di negeri ini. Bahkan lebih parah lagi. Karena belum lagi satu kasus mati (terselesaikan) sudah muncul banyak kasus lainnya.

Misalnya saja kasus e-KTP oleh Setyo Novanto yang sampai sekarang belum ada titik terang. Kasus Jiwasyaraya menyusul, belum lagi sempat diapa-apakan, terkuak lagi mega korupsi ASABRI. Belum lagi korupsi lainnya.

Polisi, pengadilan negeri hingga, badan khusus anti korupsi telah dibuat dan tentu saja telah bekerja untuk ini. Tapi mengapa korupsi tak kunjung mereda. Malah semakin merajalela. Di mana-mana.

Hingga korupsi pun terbongkar di dalam tubuh dewan kehormatan penyelenggara pemilu. Yakni ditetapkannya oleh KPK empat tersangka atas dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Dua orang Komisioner KPU, 1 orang mantan anggota Bawaslu dan pihak yang memberi.

Bawaslu dan KPU yang merupakan penyelenggara aktivitas penting dalam demokrasi bersekongkol dengan parpol yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Kontan kasus ini mencoreng wajah demokrasi.

Tidak terima terhadap apa yang dilakukan para oknum, ketua KPU RI, mengatakan kasus ini sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal. (tempo.co, 9/1/2020)

Siapapun yang masih teguh memegang kebenaran pasti membenci korupsi. Tapi apakah benar kasus OOT (Operasi Tangkap Tangan) para aktivis pemilu demokrasi ini adalah sebuah pengkhianatan?

Pada saat yang sama telah diakui bahwa demokrasi sangatlah mahal. Biaya yang sangat mahal itu tak hanya dikeluarkan oleh negara sebagai penyelenggara, tapi juga oleh siapa saja yang menginginkan kekuasaan di dalamnya.

Maka sudah bukan rahasia lagi adanya transaksi suara dan jabatan dengan istilah “wani piro?” Sebab demokrasi yang mengandalkan suara. Suara itu ada harganya. Tak heran jika dalam praktiknya, pra atau paska terpilihnya pejabat di alam demokrasi dipenuhi dengan berbagai transaksi suap dan korupsi. Suap untuk memenangkan suara. Lalu korupsi untuk mengembalikan modal (termasuk) suap.

Jadi jelaslah di sini terjadi lingkaran setan yang tak mungkin diakhiri kecuali dengan menghilangkan demokrasi itu sendiri. Selama demokrasi masih berjalan mustahil korupsi diakhiri.

Adapun sistem Islam, proses pemilihan pejabat negara sangat sederhana dan sangat murah. Yang dipilih hanyalah kepala negara. Selanjutnya pejabat lain dipilih oleh kepala negara atau yang diserahi kekuasaan untuk memilih oleh kepala negara.

Meski murah biayanya hasilnya tidak murahan. Penetapan tujuh syarat dalam pengangkatan kepala negara menjadi pintu awal penyaringan pemimpin berkualitas. Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, adil, merdeka, dan mampu adalah perkara yang wajib ada pada kandidat khalifah. Mahkamah mazalim yang melakukan verifikasi.

Batas waktu pemilihan yang hanya tidak lebih dari tiga hari dua malam juga efektif menutup kemungkinan terjadinya lobi sana sini (suap). Selain itu kepala negara dalam Islam tidaklah digaji. Hanya sebatas tunjangan hidup. Diiringi suasana ketakwaan, membuat pemilihan pejabat negara akan bersih dari praktik suap. Otomatis rangsangan untuk korupsi sangat terminimalisasi.

Lalu ditutupi oleh kebijakan negara yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan setip warga negaranya secara ma’ruf. Terlebih pejabat negara akan sangat diperhatikan kesejahteraannya. Disempurnakan dengan suasana keimanan yang tercipta dalam penerapan Islam. Siapa lagi yang menempuh cara haram jika yang halal begitu dimudahkan?

Jikapun ada yang terkhilaf melakukan suap atau korupsi, maka sanksi tegas akan dijatuhkan pada siapapun pelakunya. Dicopot jabatannya, diwajibkan mengembalikan harta korupsinya. Lalu dijatuhi sanksi yang berat sesuai ijtihad khalifah. Sanksi yang mampu membuat jera siapapun yang menyaksikannya.

Demikianlah, sistem politik dan pemerintahan Islam memiliki pilar-pilar pencegah korupsi yang sangat efektif. Niscaya akan mampu membebaskan negeri ini dari korupsi dan praktik lainnya yang merugikan negeri. Sedangkan dalam demokrasi, korupsi justru penyakit bawaan yang tak bisa disembuhkan.

 

[el/Lm]

Please follow and like us:

Tentang Penulis