Uighur, Nestapa Umat Islam yang Tak Berkesudahan
Oleh: Eni Mu’ta
(Pendidik, Anggota Revowriter Jombang)
LensaMediaNews – Muslim Uighur kembali menjadi sorotan dan perbincangan dunia internasional tak terkecuali Indonesia. Selepas cuitan Mesut Ozil pesepakbola Arsenal mengkritik tindakan keji China pada Muslim Uighur.
Muslim Uighur mengalami diskriminasi di dalam negerinya sendiri. Pemerintah China sudah lama berlaku kejam pada mereka. Lebih dari 1 juta Muslim Uighur tewas dalam menghadapi pemerintahan China pada tahun 1949 ketika rezim komunis China dipimpin Mao Zedong. Sekitar 25 ribu masjid dihancurkan. Menangkap orang-orang yang kedapatan melakukan ibadah atau praktik-praktik keagamaan.
Rupanya kebengisan China semakin menjadi-jadi. Warga Muslim Uighur diambil dan ditangkapi dari rumah-rumah mereka kemudian dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi. Mereka dipaksa mengikuti perintah rezim Komunis tersebut. Diantaranya menghadiri penataran komunisme setiap hari untuk dicuci otak, menyanyi lagu mars partai, meneriakkan yel-yel dan slogan komunis. Jika mereka menolak akan disiksa. Dimasukan ruangan sel yang terbatas. Dipukul, disetrum, bahkan para perempuan diperkosa secara bergantian di depan umum.
Dunia internasional mengakui hal itu. Bahkan PBB menduga ada sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017 (tempo.com, 28/12/2018). Kecaman pun berdatangan ditujukan pada China. Lantas apakah itu mampu menyudahi nestapa Muslim Uighur?
Nestapa umat Islam tak hanya terjadi di Uighur. Rohingnya, Kasmir, Irak, Suriah, Afghanistan, dan Pelestina juga mengalami hal serupa. Penyiksaan fisik, serangan rudal mendera mereka. Apakah umat Islam di luar negara-negara tersebut aman-aman saja? Tidak juga. Meski tak tampak serangan fisik, tapi serangan pemikiran terus membombardir umat Islam di manapun berada.
Apakah hanya China yang menusukkan nestapa pada umat Islam? tidak! yang jelas umat Islam tengah dikepung nestapa yang tak berkesudahan. Umat dengan entitas terbesar di dunia ini tak berdaya. Bak anak ayam kehilangan induknya. Hidup tersekat-sekat dalam batas negara (Nations state) menjadi jarak, pemisah antara muslim satu dengan muslim lainnya. Wajarlah jika nestapa Muslim di Uighur tak menggetarkan hati penguasa negeri-negeri Muslim saat ini untuk memberikan pembelaan. Dengan dalih itu urusan dalam negeri masing-masing.
Lantas siapa yang akan memberikan pembelaan? selamanya nestapa umat Islam akan terus berulang. Atas nama perang melawan terorisme dan radikalisme menjadi jalan legal memusnahkan umat Islam. Sekuat tenaga umat Islam melakukan pembelaan, namun secara kekuasaan negara tak memberikan dukungan, masalah umat Islam tak terselesaikan. Umat Islam tercerai-berai dan mudah disakiti karena tak punya pelindung atau junnah.
Berdasarkan sabda Nabi saw: “Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Makna frasa “Al-Imâm junnat[un] (Imam/Khalifah itu laksana perisai)” dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, “Maksudnya, ibarat tameng, karena Imam/Khalifah mencegah musuh untuk menyerang (menyakiti) kaum Muslim, mencegah anggota masyarakat satu sama lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam…”
Menjadi junnah bagi umat Islam, Khalifah harus kuat, berani, dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya, yakni Khilafah. Kekuatan yang dibangun atas pondasi akidah Islam.
Kekuatan inilah yang mampu menggerakkan pasukan untuk menjaga dan membela umat Islam dimanapun berada. Melindungi segala bentuk penjajahan baik fisik maupun pemikiran dari musuh-musuh Islam. Baik yang berhaluan kapitalis maupun sosialis.
Maka arah gerak umat Islam harus jelas. Berteriak lantang menuntut keadilan, berjuang berdasarkan visi kemuliaan Islam mewujudkan kepemimpinan. Jangan terjebak lepas dari penjajahan satu negara dan masuk jebakan pejajahan negara yang lainnya. Karena yang umat Islam butuhkan adalah persatuan di bawah naungan khilafah Islam dan lepas dari segala bentuk penjajahan.
Wallahu a’lam bis showab.
[ry/LM]