Memisahkan Kurikulum Jihad dan Khilafah, Bagaikan Hidangan Prasmanan di Atas Meja

Oleh: Desi Wulan Sari 

 

LensaMediaNews – Kembali Kemenag membuat kebijakan yang menuai kontroversi. Materi kurikulum jihad dan khilafah ingin dihapuskan dari buku-buku pelajaran di sekolah Islam, seperti MI, MTs, dan MA. Tentu saja hal itu membuat ulama, tokoh dan umat muslim Indonesia serentak protes menolak keras kebijakan kemenag yang diangap sudah di luar batas nilai-nilai syariat yang telah ditetapkan dalam Alquran dan Hadis. 

Sejatinya telah jelas dalam Islam bahwa jihad dan khilafah merupakan fakta sejarah yang perlu diajarkan bagi generasi penerus rabbani, sebagai bentuk keilmuan dan bukti peradaban gemilang yang pernah ada di muka bumi ini.

Alasan yang digunakan untuk perombakan kurikulum ini hanya berdasarkan asumsi dan perkiraan manusia sebagai alat tujuan propaganda program yang sedang dicanangkan saat ini, yaitu menangkal radikalisme.

Menurut Umar yang menjabat sebagai Direktur Kurikulum Sarana Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi akan dihilangkan dari kurikulum, karena kita hanya mengedepankan pada Islam wasathiyah (Republika.co.id, 7/12/2019).

Dengan kata lain Islam di Indonesia harus berada di tengah-tengah poros, sehingga tidak merugikan pihak manapun, baik pihak Kanan atau Kiri. Islam Wasathiyah  seperti yang sering di wacanakan sebagai Islam moderat, Islam toleransi yang tidak lagi mengacu pada Islam kaffah ahlu sunnah wal jamaah.

Hari ini ajaran Islam bagaikan prasmanan di atas meja. Bagaimana tidak, syariat Islam yang menurut manusia mengerikan dan berbahaya bagi dirinya akan mereka abaikan. Tetapi dalil-dalil yang menguntungkan bagi kekuasaan mereka tetap dipertahankan dan digaung-gaungkan lebih menonjol.

Padahal bagaimana mungkin hukum syariat bisa dipilah-pilah sesuka hati, seperti memilih makanan prasmanan yang hanya disukai sesuai selera nafsu dan perut saja. Sisanya mereka abaikan atau mereka lupakan bahkan mereka  buang dari pikiran mereka. Gelombang protes yang besar dari umat Islam membuat tekanan bagi posisi kemenag. yang pada akhirnya membuat bapak menteri agama melunak dan memperbarui kebijakannya.

Disebutkan bapak kemenag mengindikasi, persoalan khilafah dan perang yang diajarkan di kurikulum terdahulu sebenarnya tidak masalah, kendati demikian ada pengajar yang menyimpangkan materi tersebut. “Kalau di Islam kan khilafah itu ada, sejarah Islam kan ada, tapi tetap materi ini akan  dibatasi dan diwaspadai”. (Republika.co.id, 10/12/2019).

Fakta hukum Islam yang diperlakukan layaknya hidangan prasmanan semakin terlihat jelas, hal itu sangat bertentangan dengan Islam kaffah yang dibawa Rasul SAW melalui kalamullah.  Karena Alquran dan hadist tidak pernah mengajarkan, syariat mana yang boleh kita ambil dan mana yang bisa kita tinggalkan.

Sehingga pilihan Kemenag dalam penghapusan materi jihad dan khilafah dalam kurikulum sangat tidak tepat. Karena syariat bukan hidangan yang dapat dipilih sesuka hati. Jangan sampai penghapusan materi khilafah dan jihad menodai sejarah peradaban Islam yang agung. Jangan pernah dilupakan bahwa jihad juga merupakan spirit bangsa ini dalam meraih kemerdekaan dari penjajahan asing.

Tanpa spirit jihad bangsa ini tak akan mungkin merdeka. Jadi bagaimana mungkin materi ini harus hilang dari pengetahuan generasi muda dan pelajar muslim Indonesia khususnya. Maka pentingnya penguasa mengontrol kebijakan politiknya, menjadi cerminan bagaimana seorang penguasa menjalankan amanah dalam menngurus rakyatnya. Dengan memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan bagi kepentingan seluruh rakyat.

Wallahu a’lam bishawab.

 

[ln/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis